Jakarta (ANTARA News) - Rasju alias Bejo, pemuda kelahiran Brebes 22 tahun lalu, yang saat ini "terdampar" di Perkampungan Nelayan Cilincing, Jakarta Utara, menyimpan cerita tak terlupakan tentang pembakaran perahu nelayan di perbatasan RI-Australia oleh patroli negeri kanguru. Pemuda bertubuh kurus dan berkulit hitam itu mengaku pernah menjadi Anak Buah Kapal (ABK) penangkap hiu di perairan Arafura itu sudah dua kali ditangkap patroli Australia. Ia menjadi saksi dari pembakaran-pembakaran perahu kayu milik nelayan Indonesia oleh petugas patroli Australia. Cerita tentang penangkapan dan pembakaran perahu kayu yang diawaki pemuda tersebut bersama dua rekannya mengalir begitu saja. Padahal awal pembicaraan hanya mengarah pada kesulitan nelayan menghadapi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). "Kejadiannya ya sekitar tahun 2006 lah. Waktu itu kita nangkap hiu sampai ke daerah perbatasan, memang di sana (Australia) nggak boleh nangkap hiu, kalau ketahuan ya ditangkap," ujar pemuda yang tidak lulus SD tersebut. Ia mengatakan perburuan hiu di perbatasan Australia yang ia jalani memang menegangkan karena selalu kucing-kucingan dengan patroli Australia. Pemeriksaan dilakukan petugas hingga ke atas perahu untuk mencari barang bukti sirip ikan hiu. Jika barang bukti ditemukan tidak ada ampun semua awak langsung dibawa ke Darwin untuk diproses. Sebelumnya kapal kayu milik nelayan tentu dibakar terlebih dahulu, ujar Rasju. Ia mengaku berbagai cara dilakukan untuk mengelabui patroli Australia agar tidak ditangkap, termasuk membuang semua barang bukti ke laut. Tidak jarang pula nelayan membuang semua peralatan elektroniknya, mulai dari Global Positioning System (GPS) hingga mesin perahu itu sendiri. Menurut Rasju, jumlah nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perbatasan cukup banyak, tidak saja datang dari NTT tetapi juga dari Sulawesi dan Papua. Rata-rata nelayan menggunakan perahu, karena itu patroli Australia membakarnya. Diperlakukan manusiawi Rasju mengaku tidak kapok tertangkap patroli Australia, karena nelayan yang tertangkap umumnya diperlakukan secara manusiawi. Pada penangkapan pertama, ia dibawa ke pusat penahanan di Darwin. Selama delapan bulan ia dikarantina dengan hasil penyakit paru-parunya sembuh. "Delapan bulan saya di sana, nggak boleh pulang malah diobati paru-paru saya sampai sembuh. Setiap minggu saya dikasih 25 dolar Australia, waktu pulang saya dikasih ongkos 400 dolar Australia," ujar dia. Rasju diterbangkan ke Bali bersama dengan nelayan-nelayan lain yang dideportasi karena tertangkap patroli Australi. Dari Bali, ia melanjutkan perjalanan ke Surabaya dan Jakarta dengan menggunakan bus. Ia mengatakan, memang ada pihak Kedutaan Besar Indonesia yang selalu mendampingi para nelayan selama ditahan di Darwin. Penjaga yang mendampingi dari pihak Australia pun dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Pada penangkapan kedua kalinya, Rasju mengatakan, juga diperlakukan dengan baik. Petugas patroli Australia hanya menggelengkan kepala saat mengetahui ia tertangkap untuk kedua kalinya. "Semua dicocokan di komputer datanya. Mereka geleng-geleng pas tahu kalau aku ketangkap untuk yang kedua kalinya, dia cuma bilang crazy man," cerita Rasju sambil tersenyum geli mengingat kejadian tersebut. Hal menarik yang terkadang dilakukan nelayan Indonesia yang tertangkap dan dibawa ke Darwin, ujar Rastu, yakni mengamuk di dalam tahanan sehingga ditahan lebih lama di sana. Tetapi memang tidak dapat dipungkiri banyak nelayan yang stres karena terlalu lama ditahan. Pembakaran marak Kasus pembakaran perahu nelayan oleh patroli Australia memang mengemuka dalam minggu-minggu terakhir di media massa Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan kedatangan Perdana Menteri (PM) Australia, Kevin Rudd, ke Indonesia beberapa waktu lalu. Bahkan sebelum kedatangan Kevin Rudd ke Indonesia, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan membahas beberapa hal termasuk salah satunya masalah pembakaran perahu dan kapal nelayan oleh patroli Australia. Pembahasan dengan PM Kevin Rudd dilakukan pada 12 hingga 14 Juni di Kantor Presiden, termasuk penentuan garis batas laut atau teritorial terkait sengketa titik koordinat dengan menggunakan GPS, kata Juwono. Menurut data dari Konsulat RI di Darwin, sebanyak 253 nelayan Indonesia dari 33 kapal yang ditangkap pada April 2008 ditahan di Darwin, yang sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan, Buton. Pada 14 Mei, sebanyak 200 nelayan asal Indonesia menggelar protes atas tindakan otoritas Australia yang mereka tuding telah menangkap kapal ikan mereka di perairan Indonesia. Dubes RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb menyambut sikap pemerintah federal Australia yang mengakui bahwa sembilan dari 33 kapal nelayan Indonesia tidak bersalah dan akan mendapat ganti rugi. Dia mengaku bertemu dengan Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia Tony Burke dan mengatakan parlemen negara tersebut pertengahan Mei lalu menyebutkan sebanyak 55 orang nelayan terbukti tidak melanggar kedaulatan perairan Australia. Sikap Australia yang lebih terbuka menandakan hubungan kedua negara sudah semakin baik dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada secara baik. Kawasan yang memang diperbolehkan Australia bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya. Kedutaan Besar Australia di Indonesia menyatakan jumlah kapal nelayan Indonesia yang melintas batas sudah turun dari 365 kasus pada 2006, menjadi 121 kasus pada 2007. Sementara itu, menurut Sekretaris III/Pensosbud Konsulat RI Darwin Wahono Yulianto, otoritas imigrasi Australia pada 17 Mei memulangkan 43 nelayan Indonesia setelah penyelidikan. Pada 24 mei 2008, Australia juga memulangkan 50 nelayan Indonesia dari pusat penahanan di Darwin, mereka adalah sebagian awak dari 24 kapal ikan Indonesia yang ditangkap patroli Australia pada April 2008. (*)
Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008