Brisbane (ANTARA News) - "Help me... Help me Australia!" (Tolong saya ... Tolong saya Australia!) adalah ungkapan populer Schapelle Leigh Corby (31) saat warga Australia ini masih berjuang di Pengadilan Negeri Denpasar Bali tahun 2005, dalam kasus narkoba untuk menarik simpati dan meyakinkan publik di negaranya bahwa dia tak bersalah.
Namun Stasiun TV "Channel Nine" Australia lah yang pada Minggu malam mengungkap tabir opera sabun Corby di balik ungkapan memelasnya itu kepada para wartawan yang haus berita untuk menarik simpati rakyat Australia bahwa dia hanyalah korban, bukan pelaku.
Di dalam tayangan bagian pertama film dokumenter Stasiun TV Saluran Sembilan itu, terungkap bagaimana ungkapan memelas yang disampaikannya merupakan sesuatu yang dipersiapkan atau rerkayasa dalam pertemuan Corby dengan pendukung setianya saat itu, Ron Bakir.
Bahkan, lewat kamera tersembunyi tim peliput "Channel Nine" itu, para penonton menyaksikan wanita yang divonis hakim bersalah dan dihukum 20 tahun penjara dalam kasus kepemilikan 4,2 kg mariyuana tahun 2004 ini sempat berlatih mengucapkan kata-kata itu.
"Saya (sebenarnya) benci menangis...," kata wanita asal Gold Coast, Queensland, yang dijuluki the "Ganja Queen" (Ratu Ganja) oleh media di Australia dan Indonesia itu.
Bagian pertama film dokumenter berjudul "Schapelle Corby: The Hidden Truth" (Schapelle Corby: Kebenaran yang Tersembunyi" dengan durasi 120 menit itu juga mengungkapkan bagaimana Robin Tampoe, pengacara yang menangani kasus Corby, sempat merancang skenario bahwa alibi bungkusan 4,2 kg mariyuana itu tidak terjadi di Bandar Udara Brisbane atau Sydney, melainkan Ngurah Rai Bali.
Namun skenario itu kemudian tidak dilanjutkan Tampoe. Sebaliknya satu-satunya kemungkinan adalah petugas bandara Australia yang menangani kopor-kopor penumpang.
Menurut dia, mereka yang mungkin telah memasukkan mariyuana itu ke sarung tas papan selancar Corby.
Terhadap skenarionya yang terakhir ini, Robin Tampoe mengaku bahwa dia merekayasa teori lemah bahwa petugas bandar udara Australia yang menangani kopor-kopor penumpang sebagai pihak yang patut disangka.
Di tengah klaimnya sebagai orang yang tidak bersalah dan dukungan orang tua dan kakak perempuannya yang bersuamikan pria Bali, posisi Corby justru dipersulit oleh pengakuan Tony Lewis yang disebut "Channel Nine" sebagai tetangga, teman ayah Corby dan "penanam ganja".
Film dokumenter yang bagian terakhirnya ditayangkan Selasa malam (24/6) itu merupakan karya jurnalisme investigatif yang ditandai dengan pemakaian kamera tersembunyi yang merekam secara jelas berbagai pernyataan Corby dan Ron Bakir maupun dan orang-orang yang terlibat dalam penanganan kasusnya.
Suasana pertemuan internal tim pembela Corby pun terekam dengan baik.
Film dokumenter yang diproduseri Janine Hosking dengan lebih dari tiga setengah tahun pengambilan gambar dan riset ini mewawancarai banyak orang mulai dari orang terdekat Corby, tetangga, dan tim pengacara (Australia dan Indonesia) hingga seorang petugas imigrasi Bali.
"The Herald Sun" menyakini bahwa persepsi publik Australia terhadap Corby yang dirawat intensif di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar karena depresi sejak 20 Juni lalu ini akan berubah menyusul penayangan film dokumenter ini.
Pada saat kasusnya ditangani aparat keamanan dan hukum Indonesia pada 2004-2005, pemberitaan media cetak dan elektronika Australia yang sedemikian rupa telah membentuk opini publik bahwa Corby "tidak bersalah".
Kekuatan opini publik
Saat opini publik Australia masih berpihak kepada Corby, KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya sempat menjadi sasaran kekesalan orang-orang yang tidak bertanggung jawab di negara itu.
Beberapa bentuk kekesalan orang-orang yang bersimpati kepada "nasib" Corby ketika itu adalah pengiriman paket berisi "serbuk putih" yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan diplomat RI di KBRI Canberra (di masa Duta Besar Imron Cotan), serta vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney.
Bahkan, Konsulat RI di Perth, Australia Barat, menerima surat berisi ancaman pembunuhan. Isi surat tulisan tangan itu menyebutkan bahwa "Jika Schapelle Corby tidak segera dibebaskan, anda semua (staf Konjen RI di Perth-red.) akan menerima setiap peluru ini menembus otak".
Lebih dari enam bulan sebelum Stasiun Televisi "Saluran Sembilan" (Channel Nine) menayangkan film dokumenter yang semakin mengungkapkan kebenaran di seputar Corby yang selama ini "tersembunyi" itu, seorang informan polisi Queensland telah pun mulai membuka tabir siapa sosok Corby sebenarnya.
Radio ABC Program AM memberitakan pada 7 Desember 2007 seorang informan polisi Queensland bernama Kim Moore membeberkan keterlibatan empat rekan sejawat Corby dalam jaringan penyelundupan narkoba antara Brisbane dengan Denpasar, Bali.
Awal penangkapan Corby sendiri bermula ketika warga Australia asal Gold Coast, negara bagian Queensland dan mahasiswi sekolah terapi kecantikan itu mengaku sebagai pemilik papan selancar yang di dalamnya terdapat 4,2 kilogram mariyuna.
Ia mendarat di Denpasar dengan menumpang pesawat Australia Airlines AQ 7829, pada 8 Oktober 2004 sekitar pukul 15.00 WITA.
Atas perbuatan terdakwa, hakim menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepadanya. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa IB Wiswantanu SH yang meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup.
Corby sudah menjalani lebih dari tiga tahun dari 20 tahun masa hukumannya. Dia pun telah menerbitkan buku berjudul "My story - Schapelle Corby with Kathryn Bonella" (Sydney : Pan Macmillan Australia, 2006). (*)
Copyright © ANTARA 2008