Harga minyak melonjak lebih dari 15 persen setelah serangan terhadap dua pabrik, termasuk fasilitas pemrosesan minyak bumi terbesar di dunia di Abqaiq, mengurangi lebih dari lima persen pasokan minyak global.
Singapura (ANTARA) - Kurs dolar AS jatuh, sedangkan mata uang safe-haven dan mata uang negara-negara penghasil minyak menguat pada perdagangan Senin pagi, menyusul serangan terhadap fasilitas penyulingan minyak Arab Saudi yang mengganggu pasokan minyak global dan meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.
Harga minyak melonjak lebih dari 15 persen setelah serangan terhadap dua pabrik, termasuk fasilitas pemrosesan minyak bumi terbesar di dunia di Abqaiq, mengurangi lebih dari lima persen pasokan minyak global.
Kelompok Houthi yang sejajar dengan Iran mengklaim bertanggung jawab atas kerusakan itu, tetapi AS telah mengarahkan jari ke Iran.
Dolar Kanada naik 0,5 persen dalam perdagangan pagi di Asia menjadi 1,3224 per dolar AS, dan Krone Norwegia naik hampir 0,6 persen menjadi 8,9363 per dolar AS.
Kedua mata uang ini sering bergerak bersama dengan harga minyak karena negara-negara tersebut adalah eksportir minyak utama.
Serangan-serangan itu menghapus selera risiko yang sangat besar minggu lalu dan mendorong Presiden AS Donald Trump mencuit bahwa Amerika Serikat "siap sepenuhnya" untuk menanggapi serangan tersebut.
Mata uang safe-haven yen Jepang dan franc Swiss masing-masing terangkat setidaknya 0,3 persen terhadap dolar AS. Yen mencapai 107,60 per dolar AS dan franc menyentuh 0,9871 dolar AS. Sementara emas melonjak satu persen.
Baca juga: Rupiah Senin pagi melemah 43 poin
Terhadap sekeranjang mata uang, dolar AS melemah 0,2 persen menjadi 98,053.
"Jika itu bagian dari alasan penurunan minyak minggu lalu dan peningkatan sentimen risiko geopolitik adalah berita pemecatan John Bolton ... dan pemikiran ini adalah pendahulu untuk beberapa bentuk pemulihan hubungan antara Trump dan Iran, maka itu tidak valid lagi,” kata Ray Attrill, kepala strategi valas di National Australia Bank di Sydney.
Di luar minyak, pasar mata uang sedang menunggu hasil pertemuan bank sentral di AS dan Jepang minggu ini serta data ekonomi penting di Australia dan Selandia Baru yang dapat menentukan prospek suku bunga di Antipodes (Australia dan SElandia Baru)
Banyak selera risiko yang dipamerkan pekan lalu didorong oleh tanda-tanda mencairnya ketegangan perdagangan AS-China, dengan kedua belah pihak menawarkan kedamaian menjelang pembicaraan perdagangan bulan depan.
Namun dengan sedikit tanda kemajuan yang solid, sentimen tetap rapuh.
"Risiko geopolitik dan retorika bank sentral tetap menjadi pendorong utama risiko minggu ini," analis Australia and New Zealand Banking Group mengatakan dalam sebuah catatan.
Di Amerika Serikat, investor yang telah mulai memangkas ekspektasi untuk penurunan suku bunga Federal Reserve AS pada Rabu (18/9/2019) sekarang suku bunga tertentu akan turun dan hanya dibagi atas berapa banyak.
Pasar juga memperkirakan bank sentral Jengan, Bank of Japan (BOJ), akan mendorong suku bunga lebih jauh ke wilayah negatif, dengan sepertiga ekonom yang disurvei oleh Reuters pekan lalu memperkirakan stimulus akan meningkat.
Baca juga: Harga minyak melonjak usai serangan terhadap fasilitas Saudi
Pasar Jepang tutup pada Senin untuk hari libur umum.
Perdana menteri China pada Senin mengatakan mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional di atas enam persen, sulit dicapa di tengah beban proteksionisme.
Angka penjualan ritel dan produksi industri pada Senin kemungkinan akan memberikan wawasan lebih lanjut tentang kesehatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Yuan China datar di perdagangan pagi hari di lepas pantai.
Pound menahan kenaikan pekan lalu, karena kekhawatiran Inggris tersingkir dari Uni Eropa tanpa kesepakatan perceraian surut, sementara laporan berita pada Jumat (13/9/2019) juga meningkatkan harapan bahwa kesepakatan dapat diamankan pada 31 Oktober.
Mata uang Inggris stabil di bawah level tertinggi sejak 25 Juli di 1,2491 dolar AS. Euro stabil di 1,1077 dolar AS.
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019