Bogor (ANTARA News) - Sekurangnya 10 negara akan berperan serta dalam konferensi antarbangsa mengenai jarak pagar (Jatropha) yang diadakan bersama Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, pekan depan (24-26/6). Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi LPPM IPB, Dr Ir Erliza Hambali dalam keterangannya kepada ANTARA News di Bogor, Sabtu menjelaskan, konferensi bertema "Researches to The Near Future Business" itu, khususnya berkaitan dengan menguatnya larangan penggunaan tanaman pangan sebagai biofuel. Ke-10 negara itu, selain tuan rumah Indonesia, adalah Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, Australia, Kanada, Korea Selatan , Vietnam dan China. Dijelaskannya bahwa konferensi yang diadakan atas kerja sama dengan PT Indocement Tunggal Prakarsa, perusahaan semen yang kini juga mengembangkan jarak pagar untuk energi alternatif perusahaan itu, juga didukung Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan serta Kadin . Menurut dia, kegiatan itu juga lebih difokuskan dalam rangka memajukan pengembangan bioenergi berbasis jarak pagar di Indonesia dan membandingkan pengembangan tersebut dengan negara lain. "Kami berharap kegiatan ini bisa menyajikan forum untuk memfasilitasi pertukaran ide, informasi dan teknologi antara pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan bioenergi berbasis jarak pagar dari seluruh dunia," katanya. Sebelumnya, Guru Besar IPB, Prof Dr Ir Justika S Baharsjah menyatakan kecenderungan kebijakan penggantian bahan bakar dari "fossil based economy" dengan bahan bakar yang tergantikan (biofuel), yang menggunakan bahan pangan, seperti jagung, ubi kayu dan juga kedelai dinilai sebagai telah "kebablasan". Pernyataan itu disampaikan dalam sebuah diskusi panel bertema "Sumberdaya Hayati dan Pertanian: Mengapa Potensi Hayati Belum Termanfaatkan"yang digelar bersama Pusat Penelitian Biologi (P2B) LIPI, Plant Resources of South East Asia Association (Prosea) dan Naturae Indinesiana (Naturindo) di Bogor. Ia kemudian merujuk pada laporan majalah "Time", yang mengemukakan bahwa untuk mengisi satu tangki bahan bakar mobil tipe SUV (Sport Utility Vehicle) dibutuhkan jagung yang semestinya setara dipakai untuk makan satu orang selama setahun. "Jumlah itu bukan main banyaknya. Ini agak `kebablasan`, karena mereka mengambilnya dari tanaman bahan pangan misalnya jagung, ubi-kayu, tebu, dan ada yang dari kedelai. Nah, mereka alasannya adalah untuk menurunkan pencemaran atau `global warming`, padahal menurut penelitian yang saya baca bahwa ethanol dari jagung itu tidak menurunkan global warming, bahkan merusak hutan, termasuk di Brazil dan Indonesia. Yang sudah dikatakan `clear` itu adalah tanaman tebu," kata Justika S Baharsjah. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008