Jakarta, 20/6 (ANTARA) - Suaka Rhino Sumatera (SRS), sebagai penangkaran badak Sumatera secara semi-alami dan berada di dalam kawasan Taman Nasional Way Kambas Lampung, kini dihadapkan pada permasalahan Torgamba badak jantan salah satu penghuni penangkaran tersebut beranjak tua dan sering sakit. Torgamba, badak Sumatera jantan yang ditangkap tahun 1985 di Riau dan sebelum dipindahkan ke SRS pada tahun 1998 terlebih dahulu dipelihara di Port Lympne Zoo, Inggris, telah berumur lebih dari 28 tahun sesuai data dalam International Studbook Keeper for Sumatran Rhino. Di samping Torgamba, di SRS terdapat 4 badak Sumatera lain yang kondisinya jauh lebih baik. Tiga betina, yaitu Bina (22), Rosa (6), dan Ratu (7) serta seekor jantan muda Andalas (6), yang lahir di Amerika dan ditranslokasi ke SRS tahun lalu menunjukkan perilaku normal layaknya badak Sumatera liar di habitatnya. Demikian juga hasil-hasil pemeriksaan kesehatan secara rutin menunjukkan kondisi mereka normal. Sejak tahun 2005 Torgamba mengalami beberapa kali gangguan kesehatan namun tidak dijumpai adanya infeksi ataupun penyakit yang menular. Gangguan kesehatan serius yang dialami Torgamba adalah terutama gangguan ginjal kronis dan anemia kronis berdasarkan hasil uji laboratorium. Akibat gangguan tersebut mengakibatkan Torgamba mengalami gangguan metabolisme umum seperti kelelahan, tidak nafsu makan, gangguan keseimbangan calcium-phosphor. Pemeriksaan fungsi reproduksi terhadap Torgamba mengindikasikan adanya gangguan fungsi produksi spermatozoa yang disebut oligozoospermia yaitu menghasilkan konsentrasi spermatozoa yang sangat sedikit dan tingkat abnormalitasnya sangat tinggi sehingga kemungkinan tidak berpotensi sebagai pejantan untuk program pengembangbiakan. Tanda fisik ketuaan juga sudah ditunjukkan dengan tanggal dan rusaknya beberapa gigi. Pada bulan Oktober tahun 2006, Torgamba mengalami dampak dari musim kering yang panjang, di mana ia mengalami kerusakan telapak kaki lebih parah bila dibandingkan dengan badak yang lain. Pada bulan Agustus 2007 Torgamba menderita sakit yang lebih parah dari sebelumnya, tubuhnya melemah dan mengalami kelelahan parah (lethargic), bahkan hampir semua fungsi organ tubuh mengalami penurunan (degenerasi) dan mengalami anemia akut. Gangguan pada organ tubuh yang terberat dialami oleh saluran pencernaan dan ginjal namun tidak ditemukan adanya infeksi pada kedua organ tersebut. Ia juga menderita dehidrasi, sehingga memerlukan penanganan dengan pemberian cairan infus melalui pembuluh darah vena sebanyak 20 liter per hari selama 5 kali pemberian. Walaupun saat ini kondisi Torgamba terlihat jauh lebih baik, namun status kesehatannya masih mengkhawatirkan seiring terjadinya perubahan pola makan di mana di dalam hutan Torgamba hampir tidak pernah lagi mencari makan sendiri. Saat ini ia diberi pakan tambahan 3 kali per hari di dalam kandang (pagi, sore, dan malam). Sementara itu pemeriksaan darah rutin yang dilakukan setiap 1-2 kali per bulan masih menunjukkan anemia yang kronis dan gangguan ginjal. Torgamba, seperti halnya mamalia lain yang bertubuh besar, bila diamati secara sekilas masih memperlihatkan aktivitas yang normal. Ia seolah-olah "menyembunyikan" atau bahkan tidak menghiraukan rasa sakitnya. Ia kadang terlihat mampu berjalan jauh menjelajahi hutan, namun ternyata staminanya tidak cukup baik sehingga kondisinya melemah dan terlihat mengalami kelelahan. Dengan adanya gangguan ginjal dan anemia kronis, Torgamba dikhawatirkan mudah jatuh sakit dan menjadi parah. Oleh karena itu, Torgamba kini ditempatkan di dalam tempat khusus yang lebih kecil ("Boma") dan hanya satu atau dua hari saja per bulan berada di lokasi yang lebih luas +10 ha. Pada masa betina berahi setiap 20 - 25 hari sekali, Torgamba masih mampu mengawini badak-badak betina di SRS. Namun dengan status reproduksinya yang tidak subur dan kondisi tubuhnya yang melemah, kecil sekali kemungkinan Torgamba memenuhi harapan dunia terutama para pemerhati badak untuk menciptakan sebuah kehidupan baru yaitu lahirnya anak-anak badak Sumatera. Torgamba, ibarat sebuah "bom waktu", bisa sakit kapan saja dengan tiba-tiba tanpa dapat diprediksi dengan tepat. Kini, Torgamba dalam pengawasan 24 jam oleh perawat dan dokter hewan. Namun walaupun Torgamba beranjak tua, pengalaman SRS memelihara badak selama 10 tahun, diharapkan mampu memberi kesempatan Torgamba bertahan hidup lebih lama. Sebagai catatan, rekor terlama badak Sumatera hidup di penangkaran terdata di London Zoo, yaitu hidup antara tahun 1868 - 1900 (32 tahun). Seyogyanyalah, Torgamba dan rekan-rekannya di SRS, menjadi perhatian kita semua bukan hanya Pemerintah Indonesia tapi juga dunia internasional khususnya para pemerhati badak, dan bersama-sama kita memikirkan dan mencari jalan terbaik untuk Torgamba khususnya dan konservasi badak Indonesia pada umumnya. Demikian kata Adi Susmianto, ketua Pembina Yayasan Badak Indonesia. Untuk keterangan tambahan, silakan hubungi Masyhud, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Telp: (021) 570-5099, Fax: (021) 573-8732
Pewarta:
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2008