Jakarta (ANTARA) - Organisasi konsumen Asosiasi Vaper Indonesia (AVI) menolak anggapan bahwa rokok elektronik atau yang dikenal dengan nama vape menjadi penyebab kematian beberapa remaja di Amerika Serikat dalam beberapa hari ke belakang.
Ketua Penasihat AVI, Dimasz Jeremiah, Sabtu petang mengatakan meski para korban meninggal termasuk ratusan lainnya yang dirawat mengaku menggunakan vape sebelum kesehatannya terganggu, tidak berhubungan dengan vape itu sendiri.
“Persamaan terbesarnya antara korban yang sampai ratusan itu bukan di vapenya, melainkan pada ganja ilegal yang berminyak atau oil based itu yang mereka hisap,” kata Dimasz saat dihubungi.
Pasalnya, menurut Dimasz, di Amerika Serikat sendiri saat ini ada sekitar 11 juta pengguna vape dan yang menjadi kasus hanya ada beberapa ratus yang dekat dan tersangkut benda ilegal yakni ganja yang dicairkan tersebut.
“Jadi bukan di vapenya. Ini kayak epidemi gitu kemarin. Terjadi pada beberapa ratus orang di kelompok umur yang kira-kira sama yakni anak muda dan mereka juga selain terbukti vaping juga terbukti menghisap ganja ilegal,” ucapnya.
Dimasz sendiri mengaku tidak mengetahui bagaimana proses distribusi dan seperti apa penggunaan ganja ilegal tersebut di Amerika, namun dia menduga barang terkategori narkotika tersebut dijual dengan bentuk siap pakai.
“Saya nggak tahu tuh di Amerika gimana dijualnya. Tapi sepertinya itu dijual dengan bentuk isi ulang vape yang sudah siap pakai,” katanya.
Baca juga: PDPI: Pengguna vape lebih berpotensi terkena penyakit paru
Baca juga: Pajak cairan rokok elektrik beri kontribusi Rp12,1 miliar di Gresik
Baca juga: BNN Papua Barat antisipasi peredaran isi ulang vape berisi narkoba
Dimasz menegaskan vape sendiri tidak berbahaya bagi pemakai dan lingkungan sekitarnya karena hasil pembakaran yang dihasilkan bukanlah asap seperti rokok konvensional, namun uap air.
“Karena itu vape tidak butuh filter karena yang dilakukan pembakaran bukanlah partikel keras, dan hasilnya adalah uap air, seperti Nebulizer (alat terapi asma) yang dihasilkan adalah uap. Itu sebenarnya cara mereka (korban) pakai,” katanya.
Bahkan, Dimasz yang kini menginjak usia 46 tahun ini mengaku selepas memakai vape selama tujuh tahun kesehatannya semakin meningkat yang dilihatnya berdasarkan premi asuransi yang lebih murah.
“Saya dulu merokok tujuh bungkus sehari, sejak tujuh tahun lalu saya beralih ke vape. Kini saya menggunakan cairan isi ulang vape yang ada nikotin 12 mg yang habis dua mililiter sehari. Efeknya asuransi saya tujuh tahun lalu lebih mahal dari tahun ini karena risiko saya lebih turun saat dicek kesehatan wajib oleh pihak asuransi, inilah efeknya bagi saya,” ucap dia.
Hingga 11 September 2019, sudah enam orang di Amerika Serikat telah meninggal akibat penyakit paru-paru yang diduga setelah mengisap vape. Menurut pejabat kesehatan Kansas, seorang perempuan berusia 50 tahun ke atas menjadi korban keenam akibat vape.
Bahkan Pemerintah AS mengumumkan bahwa mereka berencana melarang penggunaan vape berasa buah beserta rasa mint dan mentol. Hanya rasa tembakau yang diperbolehkan beredar.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019