Konsepnya ekonomi modern tapi berbasis masyarakat adat

Denpasar (ANTARA) - Ketut Manda melangkah cepat, kaki kiri dan kanannya terus melaju seakan tak menghiraukan panas terik sinar matahari.

Siang itu, ia bergegas menuju tempat kerjanya di Timbis Paragliding di Desa Kutuh, Kabupaten Badung, Bali. Ia harus berkejaran dengan waktu, karena siang hari adalah saat yang bagus untuk wisata paralayang, di mana arah angin optimal.

Sejumlah wisatawan tentunya sudah menanti kedatangan instruktur senior sekaligus manajer di tempat wisata paralayang itu.

Timbis Paragliding menawarkan sensasi olahraga menantang adrenalin yakni terbang di atas laut. Terletak di sebelah timur Pura Gunung Payung, Desa Kutuh, wisata paralayang itu memiliki landasan berukuran sekitar 80x40 meter.

Landasan itu menjadi titik tinggal landas dan mendarat bagi wisatawan yang tandem dengan instruktur. Selain di Gunung Payung, landasan paralayang juga ada di Bukit Pandawa, juga berada tak jauh dari lokasi tersebut.

Lokasinya yang berada di atas tebing berketinggian sekitar 70 meter itu menghadap langsung Samudera Hindia. Pemandangan biru laut Selatan Bali itu menjadi daya tarik wisata paralayang yang dikembangkan sejak tahun 2015.

Manda menuturkan pada April hingga November merupakan periode angin dan cuaca yang baik. Saat cuaca baik, rute yang dilalui tergantung arah angin misalnya jika dari arah selatan, biasanya terbang di atas Pantai Geger, Melasti, hingga Samawang.

Namun, jika angin sedang tidak menentu khususnya Desember hingga Maret, maka rute terbang hanya bisa dilalui di atas Gunung Payung dan Pantai Pandawa. Hampir setiap hari, sekitar 40 hingga 60 wisatawan menjajal wisata paralayang itu.

Pria yang sudah 24 tahun menekuni paralayang tersebut mengatakan sebagian besar wisatawan itu turis asing yang didominasi dari China, Australia, Singapura dan sejumlah negara di Eropa.

Untuk menikmati sensasi terbang di atas samudera, wisatawan harus membeli tiket sebesar Rp1 juta untuk domestik dan mancanegara Rp1,4 juta untuk 15 menit terbang. Manda menyebut per bulan rata-rata pendapatan diperkirakan mencapai sekitar Rp800 juta.


Desa Adat

Manda menuturkan wisata paralayang itu sejatinya sudah dilaksanakan sejak tahun 1995. Namun, saat itu bisnis masih dilakukan perorangan dan belum ada campur tangan pemerintah termasuk desa.

Sejak dikembangkan tahun 2015, wisata paralayang itu berada di bawah kelola Bagha Utsaha Manunggal Desa Adat (BUMDA).

Kepala Desa Adat Kutuh Made Wena menjelaskan BUMDA merupakan badan usaha yang dikembangkan secara terintegrasi oleh masyarakat desa adat setempat. Artinya, usaha itu dikelola oleh masyarakat dan untuk desa adat, bukan oleh pemerintahan desa.

Menurut dia, pemerintahan desa secara dinas memiliki garis tanggung jawab secara vertikal dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, camat hingga desa. Meski ada dua pemimpin dalam satu kawasan desa, namun mereka berdua saling bersinergi mendukung inovasi BUMDA itu. Tujuannya hanya satu, membuat masyarakat di desa mandiri secara ekonomi dan sejahtera.

Wena menambahkan wisata paralayang merupakan satu dari 11 lini bisnis termasuk tiga di antaranya unit layanan yang dikelola masyarakat Desa Adat Kutuh. Bisnis tersebut yakni simpan pinjam Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang kini memiliki nilai aset sebesar Rp125 miliar dari tahun 1998 hanya sebesar Rp13 juta. Bisnis terus diputar untuk mengembangkan lini bisnis lainnya.

Lini bisnis itu yakni objek wisata Pantai Pandawa, Gunung Payung Cultural Park, atraksi seni dan budaya, produksi barang jasa seperti air mineral. Selain itu, transportasi yang salah satunya menggandeng transportasi dalam jaringan dan jasa konstruksi yang dilakukan oleh warga desa adat.

Selain bisnis, BUMDA juga mengelola layanan kesehatan dan asuransi bagi pengunjung, layanan keamanan desa adat, hingga wisata edukasi.

Wena mengungkapkan total laba bersih BUMDA tahun 2018 mencapai Rp14,5 miliar dari total pendapatan sekitar Rp50 miliar. LPD, wisata Pantai Pandawa dan Paralayang merupakan tiga besar kontributor pendapatan desa adat. Sekitar 60 persen pendapatan, disumbangkan sendiri oleh wisata Pantai Pandawa.

"Agar tidak saling 'berkelahi', tidak ada 'aku' dalam pengembangannya, maka kami kembangkan terintegrasi. Konsepnya ekonomi modern tapi berbasis masyarakat adat," ucap Wena.


Berkah Pembangunan

Kepala Desa Kutuh I Wayan Purja menjelaskan desa yang dikenal memiliki banyak lahan kering itu mengalami pemekaran tahun 2002. Desa tersebut memiliki penduduk sekitar 4.170 jiwa, dengan luas lahan sekitar 1.000 hektare.

Selain memang alamnya yang menunjang, masyarakatnya pekerja keras serta dibantu promosi era milenial, Desa Kutuh dikenal sebagai destinasi wisata juga tidak terlepas dari sentuhan pembangunan. Pembangunan dari Pemerintah Pusat digelontorkan untuk Desa Kutuh melalui dana desa.

Dana desa itu, lanjut dia, merupakan dana untuk merangsang pertumbuhan ekonomi warga sehingga pada akhirnya mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

"Dana dari pemerintah pada saatnya nanti mungkin tidak turun lagi karena ini dana motivasi, membangkitkan kami untuk menghasilkan hal lebih, maka jadi desa mandiri," kata Purja.

Sementara itu, Kepala Desa Adat Kutuh Made Wena mengatakan pembangunan fasilitas umum itu semakin mengoptimalkan akses bagi turis menikmati wisata di daerahnya.

Sejak tahun 2015 hingga 2019, lanjut Wena, Pemerintah Desa Kutuh menerima dana desa Rp800 juta setiap tahun. Tahun pertama dana desa digunakan di antaranya untuk perbaikan lapangan umum di pusat pemerintahan desa. Kemudian tahun 2016 digunakan untuk memperlebar akses jalan masuk ke Pantai Pandawa. Tahun berikutnya dialokasikan untuk pembangunan lapangan bola dan tahun 2019 untuk perbaikan taman di kawasan menuju Pandawa.

Manajer Timbis Paragliding Ketut Manda menambahkan pengembangan landasan paralayang juga sebagian didanai dana desa dan desa adat. Begitu juga akses jalan juga turut dibantu dari dana desa dan desa adat.

Kepala Desa Adat Kutuh Made Wena mengatakan membangun desa tidak bisa dilakukan sendiri. Ia juga tidak bisa menggunakan cara lama yakni hanya berpangku tangan menunggu bantuan pemerintah. Untuk itu, kerja sama digencarkan mulai dari kalangan kampus, pelaku bisnis perjalanan wisata, hingga korporasi seperti perbankan.


Desa Kutuh

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan pesat di Desa Kutuh mendapat perhatian sejumlah pihak, termasuk perbankan yang ingin terlibat memajukan desa melalui semangat membangun negeri.

Bank Mandiri misalnya berencana ingin mengembangkan agen digital bank dengan menyasar pelaku usaha kecil di desa setempat.

Direktur Retail Banking Bank Mandiri Donsuwan mengatakan dengan adanya agen digital bank, maka keuntungan tidak hanya dirasakan langsung bank, namun juga agen yang merupakan masyarakat setempat.

"Kalau kami menetapkan ATM, semua keuntungan masuk ke bank saja. Kalau agen keuntungannya bagi dua," katanya saat hadir dalam diskusi pengembangan wisata di Desa Kutuh.

Melalui agen digital bank itu, lanjut dia, transaksi yang biasa dilakukan melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) juga bisa dilakukan termasuk pembayaran tagihan dan transfer. Dengan begitu, inklusi dan literasi keuangan masyarakat bisa sekaligus ditingkatkan.

Selain itu, mencermati 11 aktivitas ekonomi masyarakat setempat yang menyumbangkan keuntungan, perbankan akan memberikan bantuan melalui kredit usaha rakyat (KUR). Dengan bunga efektif sebesar tujuh persen per tahun, diharapkan mendorong kemajuan usaha wisata di desa itu.

Bank Mandiri itu akan mendukung perkembangan pariwisata karena hampir 60 transaksi belanja nasabah untuk kuliner dan jalan-jalan. Kedua segmen itu, kata dia, erat kaitannya dengan sektor pariwisata.

Dukungan kepada sektor pariwisata juga sejalan dengan langkah pemerintah dalam mendorong infrastruktur pariwisata seperti mewujudkan destinasi wisata prioritas 10 Bali Baru.

Dalam kesempatan itu, Bank Mandiri juga menyerahkan bantuan kepedulian sosial sebesar Rp110 juta untuk membiayai penataan kawasan wisata Gunung Payung Cultural Park di Desa Adat Kutuh. Dukungan tersebut diharapkan meningkatkan daya tarik Kutuh dan sekitarnya sebagai salah satu desa wisata dan memperkuat perekonomian lokal.

Apa yang dilakukan aparat di desa adat dan desa di Kutuh patut menjadi pelajaran penting khususnya dalam melahirkan inovasi dan saling bersinergi. Sinergi itu diperlukan untuk mendorong ekonomi masyarakat dan tentunya berdaya secara mandiri.

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019