"Perang adalah perang, damai adalah damai, keduanya tidak mungkin bersatu," ujar Putu Wijaya mengawali penampilan lakon "Zero".Terjadinya perang di mana-mana, membuat hati Putu Wijaya, seniman serba bisa yang bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya itu, menjadi gunda.Kegundaan Putu Wijaya dituangkannya dalam pementasan drama "Zero" yang digelar KBRI Praha di Prague City Library Hall, Praha, Ceko, pekan silam. Penampilan Teater Mandiri, grup teater yang dipimpin pria kelahiran Tabanan, Bali 11 April 1944 itu, digelar dalam rangka memperingati "50 tahun Perjanjian Kerjasama Kebudayaan Indonesia Ceko". Diawali dengan prolog yang dibawakan Putu Wijaya dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan Jana Vozabova, mantan penerima Dharmasiswa membuat tontonan teater modern itu itu mengundang decak kagum dari sekitar 300 penonton. "War is war, peace is peace, the two will never ever be related," ujar Putu Wijaya mengawali penampilan Zero. Jana Vazabova yang memiliki sanggar tari Kintari Foundation menterjemahkan ke dalam bahasa Ceko. "Valka je valka, mir je mir, ty dva spolu budou vzdy spojeny," pertunjukkan lakon Zero pun dimulai. Suara deburan ombak kemudian berubah menjadi kekacauan di mana-mana. Dari layar lebar berwarna putih terlihat bayang-bayang. Suara musik dan permainan cahaya dari lampu yang digotong-gotong serta pantulan slide membuat tontonan itu terlihat adegan perang dalam pertunjukan wayang kulit. Penampilan "Zero" yang mendapat penghargaan di ajang festival teater internasional Cairo International Festival for Experimental Theater (CIFET) 2005 itu, terkesan minimalis. Menurut salah seorang anggota senior Teater Mandiri Ryanto P Hutagoal, yang sering dipanggil Bang Ucok, kelompok Teater Mandiri yang didirikan tahun 1971 mempunyai filsafat selalu bertolak dari yang ada. "Kalau cuma ada kardus, ya itu yang kami gunakan." Ucok mengatakan anggota Teater Mandiri terdiri dari berbagai golongan, mulai dari mantan tukang ojek sampai pengusaha seperti Egi Massadiah. "Semua mengabdi kepada kesenian." Berdurasi sekitar satu jam, Zero yang merupakan pertunjukan visual yang tidak menggunakan bahasa verbal, melainkan menekankan pada permainan musik, gerak dan suasana. "Zero" mengandung gagasan, untuk mengakhiri peperangan caranya adalah dengan kembali ke wilayah nol. Penampilan Kedua Dalam keterangannya kepada koresponden LKBN Antara di London, Putu Wijaya mengakui bahwa kehadirannya di kota Praha bukan untuk yang pertama kalinya. Tahun lalu saya ke sini menampilkan monolog, ujar istri Dewi Pramunawati. Teater Mandiri telah banyak melakukan pementasan di luar negeri seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Brunei Darussalam. Saat tampil di luar negerim teater Mandiri tidak banyak mengunakan kata-kata sebagai persembahan pokoknya. Tahun 1991, teater Mandiri melakukan pagelaran di Amerika Serikat dengan menyajikan tontotan visual dan mendapat sambutan yang meriah. "Begitupun saat teater Mandiri pentas di Jepang, di Hamburg Jerman dan Singapura," ujar Putu Wijaya yang meraih puluhan penghargaan atas karya sastra dan skenario sinetron. Hal biasa Menurut Putu Wijaya, perbedaan telah menjadi hal yang biasa di Indonesia. Namun jika dulu, orang yang berbeda pendapat dan bahkan bertentangan masih dapat hidup berdampingan, akhir-akhir ini yang terjadi sebaliknya. Menurut Putu Wijaya belakangan ini terjadinya bentrokan dan peperangan di mana-mana. "Kita harus mulai lagi belajar hidup bersama-sama dan kembali belajar satu sama lain," ujar Putu Wijaya yang menulis sekitar 30 novel, 40 naskah drama, seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Menurut penulis skenario film Perawan Desa, Kembang Kertas, Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati dan Telegram, setiap orang di manapun sebenarnya mencintai perdamaian dan membenci peperangan. "Sayangnya cara mengejar perdamaian itu berbeda beda ada yang melalui jalan diplomasi dan ada juga yang dengan jalan kekerasan," ujar ayah Taksu Wijaya. Diakuinya oleh penulis skenario sinetron Keluarga Rahmat, Pas, None, Warung Tegal, Dukun Palsu, Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam, Cerpen Metropolitan - perbedaan itu menimbulkan pertentangan, dan pertentangan akan menimbulkan perkelahian dan peperangan yang baru. "Akhirnya usaha mengejar perdamaian itu kembali menyulut peperangan," ujar Putu Wijaya yang pernah menjadi wartawan majalah Ekspres, majalah Tempo, Redaktur Pelaksana majalah Zaman. Menurut mantan dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois dan dosen teater Institut Kesenian Jakarta, manusia pengejar perdamaian dengan cara yang berbeda beda yang akhirnya menimbulkan peperangan. "Solusinya dengan mengembalikan kepada kearifan lokal," ujar Putu Wijaya yang mengutip kata kata bijak dari Bali, "Kosong berisi, ana tak ane," yang artinya "ada itu tak ada dalam kekosong itu penuh". "Kalau kita kembali ke dalam kekosongan maka ada kemungkinan kita akan bisa bersentuhan dengan lebih baik dan kembali saling mengisinya," ujarnya. Lakon Zero yang juga ditampilkan di Bratislava pada tanggal 17 Juni dibawakan 15 seniman anggota Teater Mandiri yang terdiri atas Irianto, Hasrul P Hutagoal, Arswendy Nasution, Fejar Massadiah, Umbu Tanggela, Fien Hermini, Bambang Ismantoro, Kardi, Agung Wibisana, Wahyu Sulasmoro, Ibnu Wardani, Taksu Wijaya dan Dewi Pramunawati. Mantan Dubes Ceko untuk Indonesia Dubovska, Jaroslav Olsa, mengatakan penampilan Teater Mandiri di Praha sangat menarik. "Luar biasa, spektakuler," ujar Jaroslay Olsa mengomentari penampilan Putu Wijaya. Thomas Petru, salah satu mantan penerima Dharmasiswa mengakui bahwa penampilan Teater Mandiri dengan lakon Zero, sangat ekspresif dan mudah dimengerti, apalagi cerita itu merupakan refleksi kejadian yang tengah terjadi di mana-mana.(*)

Pewarta: Oleh Zeynita Gibbons
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008