Saya jualan terus. Ada imbauan tutup satu hari. Tapi saya jualan terus. Besoknya (tanggal 20 Agustus), (aktifitas) pasar ini sudah normal
Manokwari (ANTARA) - Aktifitas jual beli di pasar tradisional di Manokwari, Papua Barat telah kembali normal.
Hal itu terlihat di Pasar Wosi, Manokwari, saat ANTARA mengunjungi pasar tersebut, Jumat.
Biasanya, setiap harinya para pedagang mengambil komoditas pertanian di Pegunungan Arfak, untuk berjualan di Pasar Wosi.
Namun, saat kericuhan 19 Agustus terjadi di Manokwari, sebagian dari mereka memilih tidak berjualan. Sebagian juga ada yang memilih berdiam di Gunung Arfak sambil menanti keadaan membaik. Ada juga yang memilih tetap menggelar dagangannya, seperti Rahim (34). Pria asal Buton ini tetap menjual sirih pinang di Pasar Wosi saat kericuhan terjadi.
"Saya jualan terus. Ada imbauan tutup satu hari. Tapi saya jualan terus. Besoknya (tanggal 20 Agustus), (aktifitas) pasar ini sudah normal," kata Rahim.
Sedangkan Naomi (28) memilih tidak berjualan selama tiga hari. Penjual sayur mayur ini mencoba kembali berjualan karena takut dagangannya busuk. "Saya akhirnya jualan lagi karena (dagangan) takut busuk," ucap Naomi.
Sementara Normah (50), seorang ibu rumah tangga asal Bugis yang kerap berbelanja di Pasar Wosi mengaku senang saat ini kondisi di Manokwari sudah aman.
Pascaterjadi ricuh, ia pun merasa tidak terdapat sentimen negatif warga asli terhadap warga pendatang.
"Tidak ada (canggung dengan penduduk asli), saya dari kecil di sini (Manokwari). Anak dan cucu saya di sini," ujar Normah.
Normah pun berharap jangan ada lagi kericuhan di Manokwari yang sempat membuatnya takut keluar rumah. "Mudah-mudahan begini (damai) selamanya, jangan seperti kemarin-kemarin saat kerusuhan," katanya.
Suasana belajar mengajar di SMA Negeri 2 Manokwari pun sudah berjalan seperti biasa.
Ketika kericuhan pecah, sekolah dibubarkan. Siswa siswi dipulangkan lebih awal. Namun, keesokannya pada 20 Agustus, siswa kembali bersekolah.
Hal ini diamini oleh Ketua OSIS SMAN 2 Manokwari, Edison Wenda. "Dari Selasa (20/8) sekolah sampai sekarang," ungkap Edison.
Diakuinya bahwa sempat ada kekhawatiran mengenai penyebab terjadinya kericuhan. Namun demikian, para siswa berusaha tidak terpengaruh dengan adanya provokasi di media sosial.
Mereka pun sempat terdampak pascapembatasan akses informasi dan internet di Papua dan Papua Barat.
Kini Edison pun bersyukur akses internet dibuka kembali di Manokwari sejak Rabu (11/9) sehingga aktifitas pembelajaran pun kembali seperti sedia kala.
"(Saat akses internet dibatasi) kami kesulitan membuat tugas. Sekarang internet sudah menyala, kami bersyukur karena bisa kembali belajar dengan baik," kata remaja suku Dani yang lahir di Wamena, Papua ini.
Aksi solidaritas berujung kericuhan terjadi di sejumlah kota Provinsi Papua dan Papua Barat, pada 19-23 Agustus dan 29 Agustus 2019, sebagai buntut dari perlakuan rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Polri dan TNI tidak tinggal diam. Mereka berupaya melakukan pendekatan terhadap para tokoh masyarakat dan tokoh adat yang memiliki basis massa untuk kembali menyatukan masyarakat.
Akhirnya di Manokwari, disepakati digelarnya Deklarasi Damai di Lapangan Borarsi, Manokwari, pada Rabu (11/9) pagi yang dihadiri puluhan ribu masyarakat Manokwari.
Para pejabat tinggi Papua Barat, Forkopimda, para perwakilan pemuka agama, tokoh adat, tokoh masyarakat menandatangani deklarasi tersebut.
"Dari Miangas sampai Rote. Dari Sabang sampai Merauke, itulah Indonesia. Mari kita bertekad untuk semangat yang sama kita jaga NKRI. NKRI jaga kita. Kitorang jaga Papua Barat. Papua Barat jaga kita. Kitorang jaga Manokwari. Manokwari jaga kita. Kitorang jaga Manokwari Kota Injil. Manokwari rumah kita bersama. Kita semua bersaudara. Kita cinta damai, karena damai itu indah," tutur Ketua DPR Papua Barat Pieter Kondjol saat Deklarasi Damai.
Para warga berharap agar kerusuhan tidak terjadi lagi dan masyarakat hidup damai secara berdampingan baik warga asli maupun warga pendatang sebagaimana harapan yang terucap dari Ketua DPR Papua Barat Pieter Kondjol.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019