Kuala Lumpur (ANTARA News) - Hubungan Indonesia-Malaysia banyak berubah setelah reformasi yang terjadi di Indonesia sejak 1998, di mana hubungan kedua negara bertetangga ini tidak hanya cukup dilakukan oleh elit saja tapi juga oleh parlemen, masyarakat dan media massa."Di jaman presiden Soeharto semua hal yang dianggap mengganggu hubungan harmonis kedua negara masih bisa diredam, tapi kini sudah tidak bisa lagi. Ini yang perlu dipahami," kata Prof Dr Dewi Fortuna Anwar, ketika memberikan ceramah umum di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Rabu.Dalam menyampaikan kuliah umumnya, Dewi Fortuna dimoderatori oleh Konsultan Editor harian The Sun Zainon Ahmad, dan beberapa perwakilan duta besar Asean lainnya tampak hadir ikut mendengarkan presentasinya.Setelah reformasi di Indonesia, banyak pihak yang memberikan dinamisasi kehidupan politik dan sosial. "Pelakunya bisa pemerintah, parlemen, tokoh masyarakat, LSM, dan ditopang oleh media massa yang bebas," katanya."Mengapa isu pulau Sipadan Ligitan, blok minyak Ambalat, lagu Rasa Sayange, Helipad di perbatasan menjadi isu yang ramai di Indonesia. Karena jika dilihat ada hal sekecil apapun mengancam kepentingan Indonesia maka akan banyak pihak yang memberikan komentar dan pendapat di media massa, yang mungkin dirasakan negara tetangga dapat mengganggu hubungan harmonis," kata Dewi Fortuna, direktur program dan riset The Habibie Center. Ia menolak jika kebebasan pers di Indonesia disalahkan karena terlalu mencari sensasi. Jika memang isunya tidak benar maka pers Indonesia juga akan menjelaskan duduk perkara sebenarnya kepada masyarakat. "Dan itu juga banyak dilakukan kepada Australia dan Singapura, bukan hanya kepada Malaysia," katanya. Pengamat internasional dari LIPI (Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia) itu mengatakan hingga saat ini, hubungan Indonesia-Malaysia dari pemerintah ke pemerintah sangat baik, tapi untuk meningkatkan hubungan baik kedua negara ini pada masa mendatang dan terkait kepentingan Asean harus melibatkan juga parlemen, masyarakat, LSM dan pers. "Jika tidak maka seperti saat ini, siapa pun bisa mengganggu harmonisasi hubungan ke dua negara," katanya. Dijelaskan pula oleh Dewi, banyak yang merubah di Indonesia sejak reformasi. "Siapa pun yang salah dan siapa pun pelakunya maka ia akan dikecam oleh masyarakat. Kalo memang dia maling ya tetap akan dikatakan maling tidak bisa diubah-diubah," tambah dia. Oleh karena ada perubahan kekuatan sosial politik dan nilai-nilai di Indonesia, Malaysia dan Indonesia harus hati-hati dalam menentukan identitas nasional masing-masing. "Sebagai negara yang makin maju, terutama Malaysia, sudah tentu akan menunjukan identitas. Oleh sebab itu, Malaysia harus lebih hati-hati menunjukkan identitas kepada dunia internasional karena rakyat Malaysia merupakan keturunan beberapa suku bangsa asal Indonesia, misalkan Minang, Bugis, Jawa," ujar Dewi. "Ramainya klaim lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, kemudian siapa yang paling berhak soal makanan rendang, ini harus hati-hati karena rakyat Indonesia bisa marah jika kepentingannya terganggu ditambah lagi dengan kebebasan pers. Generasi muda saat ini sudah tidak peduli lagi dengan harmonisasi regional, begitu juga pers. Mereka akan memperjuangkan kebenaran sebagai suatu hal yang universal," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008