Jakarta (ANTARA News) - Pakar politik dan sejarawan Islam, Prof DR Deliar Noer, yang lahir di Medan, Sumatera Utara (Sumut), pada 9 Februari 1926 dikenal bukan saja radikal dalam pemikiran di masa mudanya, dalam praktik selanjutnya ia juga teguh dan berani mengkritik Soekarno dan Soeharto ketika berkuasa. "Saya rajin mengkritik Soekarno. Dan, waktu Soeharto berkuasa, giliran saya mengkritik Soeharto tajam-tajam sampai saya mesti mengungsi ke Australia," katanya dalam suatu wawancara di masa hidupnya. Ilmuwan yang memiliki integritas tinggi itu telah berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Rabu (18/6) sekira pukul 10.30 WIB karena usia lanjut (82 tahun). Rencananya, jenazah almarhum Deliar Noer akan dimakamkan di TPU Karet pada Kamis (19/6) sekitar pukul 09.00 WIB, Jenazah diberangkatkan dari rumah duka Jalan Swadaya Raya 7-9 Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur. Ia sempat terpaksa melepas jabatannya dua kali, yakni pada 1964 dari jabatan dosen Universitas Sumatera Utara (USU), karena dituding anti-Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), dan pada 1974 pada masa Soeharto, setelah pelarangan pembacaan pidato pengukuhannya selaku guru besar IKIP Jakarta, ia diberhentikan sebagai rektor dari institut tersebut. Tanpa penghasilan ia pun terbang dan bekerja sebagai peneliti pada Universitas Nasional Australia (ANU) di Canberra dan mengajar Sejarah dan Ilmu Politik pada Universitas Griffith, Brisbane. Doktor Politik pertama di Indonesia dari Universitas Cornell, AS, itu memang memiliki sifat-sifat yang jarang ditemui di dunia politik, sifat tegas dan berani menyatakan pendiriannya tentang kebenaran dan menentang apa yang dianggapnya tidak benar. Bahkan kepada Megawati yang saat itu menduduki kursi Presiden, Deliar juga mengirim saran-saran agar memberi contoh yang baik, misalnya soal suami Presiden yang seharusnya tidak terlalu campur tangan dalam kegiatan kepresidenan dan soal SPBU milik Presiden. Pria yang pada masa reformasi sempat mendirikan Partai Ummat Islam (PUI) sekaligus menjadi Ketua Umumnya itu memang lahir dari keluarga pergerakan yang mendidiknya menjadi seorang yang bersemangat dalam menyatakan pendiriannya.Deliar Noer memulai pendidikannya di Madrasah Muhammadiyah Tebingtinggi (1932-1939), SD Tebingtinggi, SMP di Medan, SMA di Jakarta lalu melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik Universitas Nasional, Jakarta (1958) sebelum akhirnya meraih gelar Master of Arts pada 1959 dan Doktor pada 1962 di Cornell University-Ithaca, AS. Pria yang sering menjadi juara kelas di SD ini memiliki kesempatan belajar di AS atas biaya Yayasan Rockefeller dan meraih gelar Doktor ilmu politiknya setelah mempertahankan disertasi berjudul "The Rise and Development of the Modernist Moslem Movement in Indonesia, 1900-1942". Disertasinya itu pada 1990, kemudian diterjemahkan dalam buku berjudul "Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942". Deliar muda selain berprestasi dalam pendidikan, ia juga aktif berorganisasi, hingga menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) tahun 1953 yang pada masa itu masih beranggotakan 15 orang dan membuatnya tertantang untuk merekrut mahasiswa dari luar Unas. Selain itu Deliar juga pernah menjadi Direktur Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LIPPM), Ketua Umum Yayasan Ummat Islam, Ketua Yayasan Risalah Jakarta, bahkan menjadi Wakil Presiden Regional Islamic Da`wah Council, serta anggota Board of Trustees School of Social dan Islamic Studies Leeabing. Deliar selain memiliki pemikiran kerakyatan, ia memang seorang cendekiawan muslim. Menurut dia, Islam sangat pro rakyat seperti halnya ajaran sosialisme, hanya saja landasannya Ketuhanan. "Jadi beda antara Islam dan sosialisme adalah jika sosialisme itu dengan akal dan tidak mempersoalkan Tuhan, sementara Islam itu dengan Tuhan, namun ajaran kemasyarakatannya sama," kata suami Zahara itu. Soal Islam Deliar juga telah menghasilkan sejumlah buku, di antaranya "Administrasi Islam di Indonesia", "Partai Islam di Pentas Nasional", "Ideologi, Politik, dan Pembangunan", "Islam, Pancasila dan Asas Tunggal" dan "Partai- partai Islam Tahun 1945-1965". Dalam karir, Deliar telah malang-melintang sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi seperti dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, dosen FISIP Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), dosen Pascasarjana Universitas Islam Bandung, dosen Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana (Unkris), dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dosen Luar Biasa FIS Universitas Indonesia (UI), dosen Universitas Nasional (Unas), dosen Universitas Islam Riau hingga dosen Universitas Griffith Australia. Selain dosen ia juga populer dengan menjadi Guru Besar FISIP UI, Guru Besar sekaligus Rektor IKIP, Wakil Rektor Unas, Staf ahli politik Kepala Negara Departemen Luar Negeri RI, Sekretaris bagian Perdagangan, Perwakilan RI Deplu di Singapura, juga pernah menjadi anggota Tim Ahli Staf Pribadi (Ketua Presidium Kabinet) Presiden RI Kepresidenan (1966 - 1968). (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008