Model pelayanan perpustakaan di negara berkembang lainny telah meninggalkan model-model formal. Bahkan, di saat perpustakaan di Indonesia melarang pengunjung untuk tidur, di sana perpustakaan justru menyajikan tempat tidur.
Yogyakarta (ANTARA) - Pelayanan perpustakaan di Indonesia saat ini diharapkan tidak monoton serta mampu merespons perkembangan zaman, kata pengajar Manajemen Informasi dan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Ida Fajar P.
"Seharusnya tren yang muncul di luar harus bisa ditangkap oleh para pustakawan," katanya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional dan Workshop bertajuk "Profesionalisme, Lifestyle, dan Tantangan Society 5.0" di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Kamis.
Ia menilai secara umum perpustakaan di Indonesia saat ini masih formalistik dan berkutat pada model pelayanan yang kaku. Orientasinya hanya mengoleksi dan menyajikan buku atau literatur yang memadai.
Menurut dia pemasaran menjadi aspek yang terlewatkan dalam pengelolaan perpustakaan saat ini. Padahal, pemasaran menjadi kata kunci dalam menarik lebih banyak generasi milenial untuk datang ke perpustakaan.
Di era generasi milenial, katanya, perpustakaan tidak lagi sekadar menjadi tempat membaca buku atau transfer pengetahuan secara formal. Lebih dari itu, perpustakaan harus memiliki orientasi pembelajaran.
"Kalau orentasinya pembelajaran maka tidak cukup menyediakan buku saja. Belajar itu ada fasilitas bacaan, ada meja, kursi yang bagus dan juga butuh penyajian minuman dan makanan," katanya.
Ia mencontohkan, pergeseran model belajar generasi saat ini yang biasa minum kopi sambil membaca dapat diadopsi dalam pelayanan perpustakaan.
Dengan demikian, perpustakaan juga perlu menyediakan area atau pojok untuk ngopi bagi para pengunjung. "Kita tidak menyangkal orang saat ini butuh 'space' ngopi sambil belajar atau membaca," katanya.
Model pelayanan perpustakaan di negara berkembang lainnya, kata dia, telah meninggalkan model-model formal. Bahkan, di saat perpustakaan di Indonesia melarang pengunjung untuk tidur, di sana perpustakaan justru menyajikan tempat tidur.
"Karena tidur dianggap sebagai bagian dari kelelahan orang yang belajar sehingga harus difasilitasi," kata dia.
Pengelolaan perpustakaan yang menarik, kata dia, masih terkendala dengan profesionalisme para pustakawan yang terkadang terbelenggu oleh kebiasaan yang sudah lama terbangun.
"Sekarang memang kesadaran para pustakawan mulai muncul tetapi masih butuh waktu untuk mensosialisasikannya. Karena kalau tidak menarik perpustakaan bisa ditinggalkan," tambah Ida Fajar P.
Sementara itu, dosen Program Studi Desain Produk UKDW Centaury Harjani menambahkan untuk bisa menarik generasi milenial datang ke perpustakaan, seragam para pustakawan juga sebaiknya menyesuaikan fesyen masa kini.
Menurut dia, di Era Sociery 5.0, para pengguna perpustakaan akan meganggap bahwa yang baik itu yang futuristik dan modern serta ramah lingkungan.
"Sehingga dengan memakai seragam yang mengikuti tren masa kini, minimal para milenial akan mengaggap bahwa para pustakawan tidak ketinggalan zaman," kata dia.
Baca juga: BJ Habibie diabadikan sebagai Nama Perpustakaan di PNUP
Baca juga: Kebutuhan pustakawan Indonesia capai 500 ribu orang
Baca juga: Peminjam buku di Perpustakaan Yogyakarta tak perlu turun kendaraan
Baca juga: Papua Terkini - Neas, pemuda Suku Dani bangun perpustakaan di Papua
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019