Batam adalah salah satu daerah berkembang di Indonesia yang memiliki lebih dari 20 'industrial parks'

Jakarta (ANTARA) - Indonesia mendorong eksplorasi kerja sama bisnis di Rim Laut Cina Selatan yang merupakan kawasan strategis sangat penting dalam mendukung konektivitas global itu.

"Batam adalah salah satu daerah berkembang di Indonesia yang memiliki lebih dari 20 industrial parks. Letaknya strategis di jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan Laut Cina Selatan ke bagian lain dunia," kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Dr Siswo Pramono dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut Pramono, faktor konektivitas bisnis inilah yang melatarbelakangi pemilihan Batam sebagai tempat penyelenggaraan Lokakarya Penanganan Potensi Konflik Laut Cina Selatan pada 2019 ini.

Ia menyebutkan Batam juga telah berkembang sebagai salah satu gateway Indonesia untuk ekonomi digital dan kreatif.

Menurut dia, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan telah meresmikan Taman Digital Nongsa (NDP) di Batam.

Taman digital ini mengintegrasikan perusahaan teknologi informasi dan pengusaha digital dari Indonesia, Singapura dan kawasan Asia Tenggara.

Dalam semangat itulah, Indonesia juga menggiring proses dialog Laut Cina Selatan ke arah kerja sama ekonomi dan pariwisata.

Kementerian Luar Negeri dan Pusat Studi Asia Tenggara (Center for South East Asian Studies) kembali menyelenggarakan Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea (Lokakarya Penanganan Potensi Konflik di Laut Cina Selatan).

Lokakarya ke-29 ini diselenggarakan di Batam, Kepulauan Riau pada 10-12 September 2019. Lokakarya ini dibuka oleh Kepala BPPK Kemenlu Dr Siswo Pramono, dan Perwakilan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Ir Lamidi, MM serta dihadiri oleh Perwakilan Pemerintah Kota Batam, Drs Zarefriandi, MPd.

Lokakarya diikuti oleh 54 pakar yang hadir dalam kapasitas pribadi, dari Indonesia, Republik Rakyat Tiongkok, Lao PDR, Malaysia, Filipina, Chinese-Taipei dan Viet Nam.

Lokakarya yang diselenggarakan setiap tahun di Indonesia sejak tahun 1990 ini bertujuan untuk membangun kerja sama yang lebih erat guna mendukung perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan tergolong rawan konflik, karena adanya klaim tumpang tindih berbagai pihak.

Lokakarya ini dikelola oleh Indonesia, baik selaku non-claimant maupun honest broker. Upaya ini merupakan one and a half track diplomacy, untuk mendukung upaya perundingan di first-track (antarpemerintah), dengan cara membangun rasa saling percaya (confidence building measures) di antara pihak-pihak yang bersengketa.

Kepala BPPK Kemenlu Dr Siswo Pramono menekankan lokakarya yang rutin diselenggarakan selama hampir tiga dekade itu merefleksikan komitmen Indonesia untuk terus terlibat aktif dan konstruktif dalam menjaga stabilitas kawasan.

Dialog mengenai potensi kerja sama dalam berbagai proyek, didiskusikan secara transparan, sehingga lokakarya ini menjadi wahana perdamaian yang efektif.

Beberapa proyek penelitian yang diusulkan Indonesia, antara lain ekspedisi Anambas II (proyek penelitian untuk mengukur biodiversity and marine pollution) dan dampak kenaikan permukaan air laut bagi kawasan pantai.

Lokakarya ini telah didahului oleh the 15th Working Group Meeting on the study of Tides and Sea Level Change and Their Impacts on Coastal Environment in the South China Sea. Pertemuan tersebut diselenggarakan pada 10 September 2019 oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) Indonesia.

Pewarta: Agus Salim
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019