Paris, (ANTARA News) - Mosi tidak percaya kontan diterima pelatih Prancis Raymond Domenech menyusul penampilan memprihatinkan skuad "Les Bleus" dalam laga Piala Eropa 2008. Ia bagaikan terkena badai Revolusi Prancis dengan mesin pembunuhnya "Guillotine".Sang Profesor, begitulah Raymond Domenech dijuluki, perlu diganti oleh Didier Deschamps sesudah penyelenggaraan laga Piala Eropa 2008. kata mantan pemain timnas Prancis Emmanuel Petit, demikian diwartakan AFP. Ini sisi politis dari bola, kegagalan bayarannya mosi tidak percaya.Petit tidak ingin dicap mengobral sensasi. Prestasinya saat membela Prancis terbilang besar, karena ia tampil sebagai salah seorang pencetak gol saat menghadapi Brazil dalam final Piala Dunia.Tidak ada pilihan, selain mengganti Domenech, karena tidak ada prestasi membanggakan selama enam tahun ini bagi timnas Prancis, kata mantan pemain Arsenal dan bintang Barcelona itu.Kontrak Domenech masih berlaku sampai 2010, meski posisi Prancis di ujung tanduk menghadapi laga melawan Italia pada Rabu waktu setempat di Letzigrund, Zurich. Baik Italia maupun Prancis menjalani laga hidup mati."Kami yang berada di Prancis, tentunya logis bila melontarkan komentar seperti ini," kata Petit seraya mengutip saat-saat menegangkan ketika berkobar Revolusi Prancis, terlebih dengan penggunaan guillotine."Saya yakin penggantian Raymond sudah selayaknya dilakukan. Deschamps adalah salah satu sosok yang pantas menerima tugas ini. Ia sudah dikenal oleh Federasi," tulis Petit dalam Le Parisien.Petit mengaku banyak pihak mendukung Deschamps. "Ia tampil sebagai sosok yang kredibel dibandingkan dengan Domenech. Ia menjalin hubungan yang harmonis, baik kepada publik maupun media. Ini faktor yang penting, utamanya kalau saja Prancis tersingkir lebih awal dalam turnamen. Ini kaharusan yang perlu dilakukan sebelum segala sesuatunya terlambat."Aroma perseteruan juga meneror Franck Ribery dan Luca Toni. Keduanya membela Bayern Munich, meski kini saling berhadapan dalam pertandingan Prancis melawan Italia. Ribery dan striker Azzuri itu tengah menjalani musim kompetisi tahun pertamanya di Bundes Liga.Keduanya bakal melewati 90 menit laga hidup mati. "Kami saling berkirim pesan singkat, meski tidak saling berbicara. Luca punya kelebihan sebagai pemain yang mampu mencetak gol ke gawang lawan, selalu berada di posisi yang tepat," kata Ribery.Ribery berperan besar ketika laga final Piala Dunia tampil bersama dengan pemain sayap veteran misalnya Zinedine Zidane dan Patrick Vieira. "Ketika banyak pihak menyebut kami sebagai skuad yang banyak dihuni para pemain tua, saya terus mencoba mempertahankan prestasi itu," katanya.Ketika dimintai pendapat mengenai kekalahan Prancis 1-4 melawan Belanda, ia mengatakan, "Kenyataan itu begitu menyesakkan. Kami terus membincangkannya. Kamiakan tampil mati-matian ketika menghadapi Italia dan berharap dapat memperoleh hasil maksimal. Kami membalik halaman baru, melupakan kekalahan dari Belanda, dan berkonsentrasi pada laga melawan Italia." "Laga keduanya bakal berlangsung sengit. Kami bertekad memetik kemenangan. Ini bakal jadi pertempuran yang menegangkan dan mencekam," kata Ribery. "Saya pemain yang siap beroperasi ke segala lini. Saya merasa lebih bebas, lebih leluasa ketimbang bertanding melawan Belanda tempo hari. Meski semuanya ini belum cukup. Pelatih tahu betul kemampuan saya."Ia menolak kabar yang menyatakan telah terjadi perselisihan paham menyusul kekalahan Prancis 1-4 melawan Belanda. "Tidak ada masalah. Tidak ada yang marah. Kami memang banyak bicara tentang segala sesuatu. Kini kami siap mati di lapangan untuk memberi segalanya bagi Prancis." (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008