Jakarta (ANTARA News) - Penyaluran BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang menjadi kompensasi dari pemerintah atas kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) 24 Mei lalu harus pula memperhatikan aspek efektivitas bila kemungkinan dana BLT dibelanjakan untuk rokok oleh kepala keluarga yang perokok. "Bila penyaluran BLT tidak memperhatikan faktor perokok pada penerima, maka pemerintah melakukan dua kesalahan," kata Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sudaryatmo di Jakarta, Senin. Kesalahan pertama, menurut Sudaryatmo, adalah karena uang BLT tidak akan sesuai target awal pemerintah ketika menyalurkan dana bantuan yakni meringankan beban kenaikan biaya hidup keluarga miskin setelah harga BBM naik. "Lalu pemerintah juga melakukan kesalahan karena biaya kesehatan akibat rokok demikian besarnya, dan ditanggung oleh program kesehatan pemerintah hingga sekitar 127 triliun rupiah, sementara pendapatan cukai pemerintah dari rokok hanya 23 triliun," katanya. Menurut YLKI, pemerintah harus memperhatikan faktor perokok dan bukan perokok bagi penerima BLT. "Kalau perlu, pemerintah memberikan insentif kepada penerima BLT yang bukan perokok, bila memang terpaksa semua penerima BLT tidak bisa dikecualikan terhadap perokok," ujar dia. Ia menyebutkan belanja rokok di rumah tangga Indonesia rata-rata mencapai 7,4-12 persen, porsi terbesar kedua setelah kebutuhan pangan. "Itu sebabnya jangan sampai dana bantuan justru dibelikan rokok," kata dia. Sementara itu untuk para lansia, YLKI mendesak agar pemerintah memberikan dana bantuan berupa BLT secara otomatis kepada golongan masyarakat lanjut usia. "Sebab lansia memang secara otomatis berhak atas bantuan itu. Mereka tidak berdaya dan sudah tidak dalam usia produktif lagi," katanya. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008