... Anda hanya bisa menangkan (perang) jika hanya punya senjata yang unggul apakah udara, darat dan laut...
Jakarta (ANTARA) - Selasa malam, 9 April 2019, di Puri Ardhya Garini, Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie berdiri di mimbar kehormatan. Di hadapannya duduk Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Yuyu Sutisna, dan hampir segenap pimpinan TNI AU.
Para petinggi TNI AU itu duduk di meja-meja bundar dengan pakaian dinas upacara khusus jamuan, jas putih gading dasi kupu-kupu, celana hitam, dan kendit hitam. Seragam ini tidak sering dipergunakan karena pada kesempatan istimewa dan kehormatan dalam jamuan atau resepsi resmi. Malam itu adalah malam penganugerahan KSAU Awards 2019 untuk jurnalis dan personel/satuan terbaik TNI AU.
Malam itu Habibie—atau sering dipanggil dengan nama Rudi oleh kerabat dekatnya—berjalan dengan dipapah seorang perwira pertama. Pelan-pelan dia berjalan dan akhirnya mimbar ada di depannya. Walau terkesan lemah saat itu, sorot matanya masih tajam dan menyala-nyala.
Penulis yang duduk di kursi dewan juri KSAU Awards 2019 bersama juri-juri lain di dekat panggung bisa melihat kilatan semangat itu, apalagi saat dia berbicara soal jiwa kemandirian bangsa, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, industri, sampai anak-anak muda Indonesia yang menjadi harapan bangsa.
Baca juga: BJ Habibie Wafat, Kominfo: Bapak Teknologi Indonesia
Tidak lupa dia menyinggung soal pertahanan negara dan kedaulatan bangsa. Banyak hal yang dia bahas dengan suara dan intonasi yang masih sangat jelas sehingga orang tidak sadar bahwa Habibie sudah berusia lebih dari 80 tahun.
Pengalamannya belajar di Jerman dia ceritakan. Tidak lupa sekelumit saat dia bekerja di Jerman sebagai salah satu dari sangat sedikit orang Asia yang bekerja di industri penerbangan Jerman, Messerschmitt-Bolkow Blohm (MBB). Runtutannya masih sangat jelas dan tepat.
Sedikit surut menyusuri kariernya di Eropa. Pada tahun 1969—1973, Habibie dengan sedemikia prestasiny menjadi kepala divisi metode dan teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB. Ia sangat baik kinerja dan jenius sehingga 4 tahun kemudian dipercaya sebagai vice president sekaligus direktur teknologi di MBB pada tahun 1973—1978 serta menjadi penasihat senior Bidang Teknologi untuk Dewan Direktur MBB 1978.
Habibie yang penuh prestasi itu juga menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman terkemuka ini.
Sebelum memasuki usia 40 tahun, karier B.J. Habibie sudah sangat cemerlang sarat prestasi terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Ia menjadi “primadona” di negeri Jerman dan ia pun mendapat kedudukan terhormat, baik secara materi maupun intelektualitas oleh orang Jerman.
Seorang pria tidak akan menjadi pria besar tanpa adanya wanita hebat di sisinya yang selalu memberi dukungan dan harapan dalam setiap langkah dan keputusan yang diambil. Bagi Habibie, perempuan yang dimaksud itu adalah Hasri Ainun Besari, yang telah mendahuluinya.
Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang beragam hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang thermodinamika, konstruksi dan aerodinamika. Bahkan, dia menemukan rumusan teori yang dikenal dalam dunia dirgantara, di antaranya Habibie Factor alias Habibie Theorem dan Habibie Method.
Inilah metode menghitung secara teoretis keretakan tubuh pesawat terbang hingga ke tingkat atom metal penyusun, alias metode crack propagation on random. Atas capaian fundamental ini, Habibie yang sarat prestasi itu dianugerahi Edward Warner Award dan Award von Karman, yang bisa dibilang Nobel-nya dunia rancang bangun pesawat terbang.
Baca juga: Habibie Wafat - Masyarakat sibuk abadikan ambulans pengantar Habibie
Pada 1968, Orde Lama sudah digantikan Orde Baru dengan H.M. Soeharto sebagai pemimpinnya. Habibie mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Ada sekitar 40 insinyur Indonesia yang akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi dari dia. MBB saat itu salah satu tonggak kedirgantaraan Eropa dan dunia.
Dari sisi Habibie, hal ini dilakukan untuk mempersiapkan kemampuan dan pengalaman insinyur Indonesia untuk suatu saat dapat kembali ke Tanah Air dan membuat produk industri dirgantara, maritim, dan darat secara mandiri.
Soeharto yang memiliki kedekatan dengan keluarga Habibie mengetahui kiprahnya. Ia mengutus Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui serta membujuk B.J. “Rudi” Habibie pulang ke Indonesia. Teknokrat muda Indonesia ini langsung bersedia walaupun melepaskan jabatan dan posisi tingginya di Jerman.
Hal ini dilakukan Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa yang sangat ia cintai. Pada tahun 1974 genap berusia 38 tahun, Habibie pulang ke Indonesia.
Walau pulang ke Tanah Air, sampai berpuluh tahun kemudian dia senantiasa memelihara semangat persaudaraan alumni Jerman atau anak bangsa yang berperan penting di rantau Jerman, di antaranya dengan mantan Pemimpin Umum LKBN ANTARA Parni Hadi.
Baca juga: Dubes Havas sampaikan belasungkawa atas wafatnya B.J. Habibie
Kedua orang ini memiliki kedekatan tersendiri, dan terus terjadi sekalipun B.J. "Rudi" Habibie telah menjadi presiden ketiga Indonesia menggantikan H.M. Soeharto. Seorang staf dekat Parni Hadi berkisah bahwa kedua orang tokoh ini sering berkomunikasi langsung memakai telefon genggam dalam bahasa Jerman yang fasih.
Beralih kepada Habibie di akhir dasawarsa ’70-an, dia pun diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung di bawah presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi sampai 1978. Meskipun demikian, dari 1974 sampai 1978, Habibie masih sering perjalanan ke Jerman sebab masih menjabat sebagai vice president dan direktur teknologi di MBB.
Kembali ke malam KSAU Awards 2019 pada HUT Ke-73 TNI AU di Puri Ardhya Garini itu. Bersama pendiri PT Dirgantara Indonesia (Persero), almarhum Laksamana Udara (Anumerta) Nurtanio Pringgoadisuryo, dia diberi anugerah Bapak Dirgantara Indonesia oleh TNI AU pada resepsi kehormatan HUT Ke-73 TNI AU. Kedua tokoh nasional ini dinilai tepat dan patut diberi gelar kehormatan di sektor kedirgantaraan nasional.
Nurtanio berperan dalam perintisan dan perjuangan mendirikan cikal bakal manufaktur pesawat terbang nasional, sementara Habibie berperan besar dalam meletakkan peta jalan industri penerbangan modern nasional. Bersama dengan mitra Eropanya, di antaranya CASA dan Airbus Industrie, Habibie mewujudkan impian besar Indonesia merancang, membuat, menguji, dan menerbangkan sendiri pesawat terbang.
Argumen logisnya sangat sederhana: negara kepulauan Indonesia sangat besar dan luas, lebih dari 5.000 kilometer dari barat ke timur dan 2.000 kilometer dari utara ke selatan. Takdir Tuhan seperti itu untuk Indonesia memberi tantangan tersendiri dalam hal transportasi modern yang cepat, ekonomis, dan masif. Jelas itu memerlukan pesawat terbang dari berbagai kelas, tipe, dan spesifikasi.
Baca juga: Habibie Wafat - Din Syamsudin serukan salat Gaib untuk Habibie
Habibie pernah menjadi Presiden Direktur Industri Pesawat Terbang Nurtanio yang kemudian diubah namanya menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada tanggal 11 Oktober 1985, lalu berubah nama lagi menjadi PT Dirgantara Indonesia (Persero) sejak 2000 sampai sekarang.
Pada masa-masa awalnya, hanya Indonesia di kawasan ASEAN yang memiliki manufaktur pesawat terbang dan komponennya.
Salah satu batu penjuru utama adalah kemampuan Indonesia turut merancang, membuat, menguji, dan menerbangkan komuter turboprop CN-235, membuat purwarupa di kelas lebih maju, N-250 Gatot Kaca dan N-250 PA-2 Krincing Wesi, yang sempat menarik perhatian khalayak penerbangan dunia pada masanya.
Khusus N-250 ini, semua proses rancang bangun dan pembuatan serta pengujian dilakukan putra/putri Indonesia. Jam-jam terbang uji tengah dijalani untuk mendapat sertifikasi FAA dan EASA, sampai program ini terpaksa terhenti oleh sebab di luar kemampuan pencapaian teknologi anak bangsa. Itu adalah krisis moneter 1998.
Kini penantian panjang itu tengah menunggu penuntasan sertifikasi N-219, satu pesawat terbang berteknologi cukup canggih di kelasnya, yang digadang-gadang bisa menjadi alternatif bagi DHC-6-400 Twin Otter (Kanada), Dornier Do 228NG (Jerman), Harbin Y-12F (China), Cessna 408 SkyCourier (Amerika Serikat), LET L-410NG (Czech), dan PZL M28 Skytruck (Polandia.
Selain N-219, secara keseluruhan PT Dirgantara Indonesia (Persero) mampu membangun sendiri C-212 dan C-212i, CN-235, N-250, helikopter NBO-105, NAS-330 Puma, dan NAS-332 Super Puma. Masih ditambah dengan kontrak pembuatan komponen dengan Airbus Industrie dan Boeing serta beberapa komponen F-16 Fighting Falcon. Benar-benar aset nasional yang harus senantiasa dikembangkan.
Berpuluh tahun kemudian, pada malam 9 April 2019 itu, dia berkata di hadapan Tjahjanto dan Sutisna serta semua perwira tinggi TNI AU, "TNI AU khususnya, tidak bisa dipisahkan dengan teknologi. Anda hanya bisa menangkan (perang) jika hanya punya senjata yang unggul apakah udara, darat dan laut."
Baca juga: Habibie wafat, sosok pendobrak industri penerbangan itu telah tiada
Angkatan bersenjata, kata dia, harus dapat terus berada di garis terdepan dengan memanfaatkan dan meningkatkan teknologi untuk kepentingan negara. Ia katakan TNI AU selama ini dapat terus berkembang dalam menjaga ibu Pertiwi karena memiliki sumber daya manusia alias SDM terbaik.
Sore tadi ada kabar yang sahih bahwa Habibie sudah berpulang kepada Sang Pencipta. Terlahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, dia kini berpulang pada tanggal 11 September 2019, menyusul kekasih hati abadinya, Ainun.
Bersama dengan Laksamana Udara (Anumerta) Nurtanio dan segenap tokoh lain, Habibie memberi pijakan penting dalam dunia kedirgantaraan nasional dan juga memberi sumbangan kepada dunia.
Selamat jalan Pak Habibie, terima kasih Bapak Dirgantara Indonesia….
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019