New York, 15/6 (ANTARA) - Indonesia ikut menggolkan lahirnya sejumlah resolusi di PBB terkait dengan proses dekolonisasi. Di bawah kepemimpinan Indonesia, sidang-sidang yang berlangsung selama tiga hari berhasil mengesahkan enam resolusi. "Semua resolusi tersebut disahkan dengan suara bulat," kata Wakil Tetap RI untuk PBB, Dubes Marty Natalegawa kepada ANTARA di New York, Sabtu. Rangkaian sidang yang berlangsung pada 9-12 Juni tersebut dipimpin oleh Marty yang bertindak selaku Ketua Komite Khusus PBB tentang Dekolonisasi. Resolusi yang disahkan secara aklamasi itu menyangkut masalah tentang Puerto Rico serta soal Samoa-Amerika, Anguilla, Bermuda, Kepulauan Virgin Inggris, Kepulauan Virgin AS, Kepulauan Cayman, Guam, Montserrat, Pitcairn, Saint Helena, Turki dan Kepulauan Caicos, juga resolusi soal Kepulauan Falkland.Resolusi lainnya antara lain menyangkut pelaksanaan deklarasi pemberian kemerdekaan kepada negara-negara jajahan oleh badan-badan khusus dunia serta lembaga-lembaga internasional yang berhubungan dengan PBB. Menurut Marty, Komite Khusus akan kembali bersidang pada 18 Juni 2008 untuk membahas isu Gibraltar dan pada 23 Juni 2008 membahas Tokelau dan Kaledonia Baru. Pada 19 Juni, Komite Khusus akan membahas laporan seminar kawasan soal dekolonisasi-PBB yang telah berlangsung pada 14-16 Mei lalu di Bandung, Indonesia. Komite Khusus Dekolonisasi-PBB, yang juga dikenal dengan sebutan C24, merupakan komite di bawah mekanisme Komite IV Majelis Umum PBB yang memiliki mandat memajukan proses dekolonisasi wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri. Sejak PBB berdiri, sudah lebih dari 80 negara --yang dulunya merupakan wilayah jajahan-- mendapatkan kemerdekaannya dan lebih dari 750 juta orang yang mendapatkan haknya menentukan nasib sendiri. Menurut catatan PBB, saat ini masih terdapat 16 wilayah dunia yang masuk daftar dekolonisasi. Puerto Rico merupakan satu-satunya pembahasan yang tidak berada di dalam daftar dekolonisasi PBB. Sidang mengenai Puerto Rico pada 9 Juni lebih merupakan forum dengar pendapat dengan masyarakat negara itu untuk mengetahui pandangan mereka mengenai status politik negara tersebut. (*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008