Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Fraksi Partai Golkar di MPR RI, Hajriyanto Y Thohari, mengingatkan, sudah waktunya para Pimpinan Fraksi-Fraksi di DPR RI dalam berhadapan dengan pemerintah bersikap otentik sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945."Bersikap otentik di sini artinya adalah bahwa DPR RI itu harus menjalankan fungsinya secara optimal, tanpa perlu mempertimbangkan posisi politik partainya terhadap pemerintah," tegasnya kepada ANTARA News di Jakarta, Minggu.Hajriyanto Thohari yang juga anggota Komisi I DPR RI itu menambahkan, para Pimpinan Fraksi harus bisa mengarahkan anggotanya, agar tidak lagi melihat posisi politik partainya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat."Tidak peduli apakah partainya merupakan anggota koalisi pendukung Pemerintah ataukah oposisi, para legislator tetap saja harus menjalankan fungsi pengawasan atau kontrol. Inilah sikap yang konstitusional sesuai dengan UUD 1945. Dan inilah sikap yang yang benar dan otentik," tegasnya. Jalankan Tugas Konstitusi Mengenai fungsi pengawasan ini, menurutnya, dengan tegas sekali diberikan oleh Konstitusi. "Silahkan lihat UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) yang menyatakan, "DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan," ungkapnya. Sementara itu, dalam ayat (2), lanjutnya, berbunyi: "Dalam menjalankan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat". Jadi, demikian Hajriyanto Thohari, tidak boleh seorangpun, termasuk Presiden sekalipun yang bisa menghalangi pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI sesuai amanat Konstitusi ini. "Sikap yang menghambat atau melarang penggunaan fungsi pengawasan adalah sikap yang tidak konstitusional, atau bahkan anti-konstitusi," tandasnya. Fungsi tersebut, menurutnya lagi, tidak boleh dan tak bisa direduksi. "Apalagi dihilangkan oleh siapapun, termasuk oleh sebuah partai politik menjadi pendukung pemerintah," kata Hajriyanto Thohari yang oleh Kaukus Parlemen Muda (KPM) didaulat jadi Menteri Luar Negeri dalam `Kabinet Bayangan`. Artinya, lanjutnya, baik menjadi pendukung Pemerintah maupun oposisi, Fraksi-Fraksi di DPR RI tidak boleh membatasi serta melarang pelaksanaan fungsi pengawasan. "Jadi, mengawasi jalannya pemerintahan adalah perintah Konstitusi. Namun demikian, dalam menjalankan fungsi pengawasan tersebut fraksi-fraksi di DPR RI haruslah otentik, tidak boleh sentimentil atau romantis," ujarnya. Anak Kandung Rakyat Namun, Hajriyanto Thohari juga mengingatkan, agar tidak boleh hanya bersikap kritis kalau sedang mengalami kekecewaan politik. "Sebaliknya, kalau sedang senang secara politik, daya kritisnya tumpul dan lembek," katanya. Jika DPR RI hanya mau menjalankan fungsi pengawasannya dengan kritis kalau kecewa dan marah, menurutnya, itu merupakan sikap yang tidak otentik. "Demikian juga sebaliknya, tidak boleh asal kritis atau asal mengawasi saja tanpa alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apalagi hanya karena partainya memposisikan dirinya sebagai oposisi terhadap pemerintah," ujarnya. Sementara itu, mengenai penggunaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, ia berharap tidak boleh bersifat artifisial serta superfisial. "Artinya, tidak boleh mengada-ada hanya karena sedang marah dan kecewa, atau hanya karena merasa dirinya partai oposisi. Sikap kritis karena kecewa adalah tidak otentik, tidak `genuine`," tegasnya. Bagi Hajriyanto Thohari, kritisisme merupakan tugas konstitusional yang tidak ada hubungannya dengan perasaan kecewa, marah, atau tersinggung. "Bahkan, ketika sedang puas secara politik pun, DPR RI tetap saja harus kritis dan terus melaksanakan fungsi pengawasannya. Sebab, rakyat menggaji Presiden untuk menjalankan pemerintahan. Dan rakyat pula yang menggaji anggota DPR RI untuk menjalankan fungsi pengawasan dan fungsi kritis-nya," katanya. Jadi, rakyat membutuhkan Presiden untuk menjalankan pemerintahan. "Dan rakyat membutuhkan DPR RI untuk menjalankan fungsi pengawasan. Keduanya adalah sama-sama "anak kandung" rakyat. Presiden dan Pemerintahan serta DPR RI adalah "dua anak kembar" yang lahir dari ibu kandung sama. Yaitu "Rakyat"," kata Hajriyanto Thohari.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008