Brisbane, (ANTARA News) - Kekeliruan dalam menerjemahkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkaitan dengan isu "peringatan perjalanan" (travel warning) yang diberlakukan pemerintah Australia kepada Indonesia mendapat sorotan media negara tersebut. Jaringan pemberitaan ABC News misalnya menyebut kekeliruan "interpreter" istana dalam menerjemahkan pernyataan Presiden Yudhoyono itu telah memicu hal yang mereka sebut "kebingungan" dan "angin puyuh kontrol kerusakan diplomatis", demikian ANTARA melaporkan dari Brisbane, Sabtu. Kekeliruan tersebut segera dikoreksi Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng dan Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda beberapa saat setelah Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Kevin Rudd selesai memberikan keterangan pers bersama di Istana Merdeka Jakarta itu. Andi Mallarangeng, menurut ABC, telah menjelaskan kepada wartawan bahwa penerjemah telah keliru menerjemahkan pernyataan Presiden Yudhyono, sedangkan Menlu Hassan Wirajuda menelepon langsung Duta Besar Australia, Bill Farmer, untuk menegaskan bahwa Indonesia tidak meminta Australia mencabut peringatan perjalanan. Dalam transkrip pernyataan Presiden Yudhoyono, terungkap bahwa Kepala Negara sama sekali tidak meminta Australia mencabut peringatan perjalanan level empat yang masih terus diberlakukan kepada Indonesia itu. Kepala Negara hanya mengatakan: "Tentunya menyangkut kebijakan Australia yang berkaitan dengan `travel warning` saya pahami sebagai kebijakan untuk melindungi warga negaranya tetapi saya juga menyampaikan dengan terbuka bahwa keadaan di Indonesia sudah baik, normal dan pulih kembali." Namun sang penerjemah menerjemahkannya: "With regard to travel warning issued by Australia, I can understand that this is the responsibility of a government to protect its citizens but I do look forward that this advisory would be lifted" (Berkaitan dengan peringatan perjalanan yang dikeluarkan Australia, saya dapat memahami bahwa ini adalah tanggungjawab pemerintah untuk melindungi warga negaranya, tetapi saya benar-benar berharap peringatan perjalanan ini dicabut-red.). Terhadap masalah "travel warning" ini, Perdana Menteri Kevin Rudd bersikukuh dengan posisi pemerintahnya dan menyebutnya sebagai perbedaan pandangan di antara sahabat. Suratkabar nasional "The Australian" mengapresiasi penolakan PM Rudd untuk menurunkan level peringatan perjalanan untuk Indonesia karena alasan ancaman terorisme di negara tetangganya di utara itu. PM Rudd mengatakan, ia tidak ingin mengenyampingkan hasil penilaian Pusat Penilaian Ancaman Nasional (NTAC) sebagai badan independen yang hasil masukannya kemudian dipublikasi Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. Disejajarkan dengan Angola DFAT hingga kini tetap mengelompokkan Indonesia ke dalam 15 negara di dunia yang patut diwaspadai setiap warga negaranya sebelum memutuskan untuk berkunjung. Di mata DFAT, kondisi Indonesia tak berbeda dengan Aljazair, Angola, Republik Demokrasi Kongo, Timor Leste, Eritrea, Etiopia, Haiti, Liberia, Nigeria, Pakistan, Saudi Arabia, Sri Lanka, Yaman, dan Zimbabwe. Peringkat status peringatan perjalanan yang diberlakukan DFAT kepada Indonesia ini tidak pernah berubah sejak era Howard hingga kubu Partai Buruh pimpinan PM Rudd berkuasa di Canberra, yakni level empat atau hanya terpaut satu tingkat di bawah level lima (dilarang untuk dikunjungi). Makna di balik peringatan perjalanan level empat itu adalah setiap warga Australia yang berniat berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia diminta untuk "mempertimbangkan kembali" rencana mereka itu karena alasan keamanan (ancaman terorisme). Dua daerah di Indonesia yang terlarang bagi warga Autralia untuk dikunjungi adalah Maluku dan Sulawesi Tengah karena alasan "situasi keamanan yang tidak stabil dan resiko serangan teroris".(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008