"Paling realistis untuk menjaga nama baik presiden, dia tidak usah ikut. Untuk tahun ini tidak bisa lagi diajukan (DPR RI) kalau presiden tidak mau ikut. Baru bisa diajukan lagi pada Prolegnas tahun 2020," ujarnya usai diskusi bersama Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia terkait penolakan revisi UU KPK di Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa.
Baca juga: Revisi UU KPK, DEEP: Membuat anggota DPR kebal hukum
Menurutnya, jika Presiden Jokowi tetap hadir membuka pembahasan draf yang diajukan oleh DPR RI, maka apapun yang diucapkan Jokowi, pembahasan mengenai revisi UU KPK tetap akan bisa dilakukan oleh para legislator.
"Karena yang diminta di situ bukan pandangan, tapi kehadiran. Selama dia (Jokowi) hadir, dia mengungkapkan pendapat atau tidak, itu sudah bisa dibahas (DPR RI)," kata Ray.
Ia menyebutkan bahwa revisi UU KPK ini bukan hanya akan mengamputasi kewenangan KPK dalam penindakan kasus rasuah, melainkan juga membuat KPK ketergantungan terhadap lembaga penegak hukum lainnya.
"Dalam hal ini ke pemerintah, kepolisian, dan kejaksaan. Itu semua memang di bawah koordinasi presiden. Besar kemungkinan korupsi yang berhubungan dengan pemerintah akan sulit ditindak," paparnya.
Sementara itu, Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mengaku ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo, ihwal rencana revisi UU KPK.
Ketua Kopel Indonesia, Anwar Razak, Selasa menyebutkan bahwa pihaknya akan menyampaikan keberatan yang menurutnya juga dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia mengenai rencana revisi UU KPK.
"Sebenarnya kita mendesak DPR RI. Tapi, jika dilihat posisi draf ini mesti ada persetujuan presiden. Maka presiden punya power untuk menghentikan. Kita akan melihat, apakah bisa bertemu langsung dan minta langsung untuk bertemu," ujar Anwar.
Pewarta: M Fikri Setiawan
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019