Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengelar sidang uji penggunaan frasa dan kata pada penyusunan UUD dan peraturan perundangan yang dianggap pemohon belum sepenuhnya sesuai dengan Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI).
Sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (10/9), diajukan oleh Suharjo Triatmanto.
"Ada makna ganda yang ambigu dalam beberapa kata di peraturan perundangan karena tidak dijelaskan dengan perinci," ujar Suharjo.
Baca juga: Badan Bahasa: 25 juta orang akses KBBI daring
Suharjo menjelaskan bahwa penggunaan kata atau frasa dalam peraturan perundang-undangan yang tidak berpedoman pada KBBI ini membuatnya risau.
"Mengapa tidak berpedoman pada KBBI, padahal keberadaan lembaga pemerintah penyusun dan pembuat KBBI telah memiliki legalitas hukum," ujar Suharjo.
Menurut Suharjo, peraturan perundang-undangan seharusnya tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia.
Suharjo selaku pemohon kemudian berpendapat kondisi ini menyebabkan produk hukum yang tertulis kemudian memiliki makna dan arti sangat jauh dari maksud dan pengertian yang diinginkan.
Suharjo kemudian memberikan contoh penggunaan kata "ayat" yang menurut KBBI berarti alamat atau tanda. Namun kata "ayat" juga berarti beberapa kalimat yang merupakan kesatuan maksud di dalam kitab suci.
Baca juga: Pakar: tidak masalah leksikon berbeda dengan KBBI
"Akan tetapi, dalam penyusunan dan pembuatan peraturan perundangan, para penyusun dan pembuatnya tidak memberikan keterangan apakah arti kata 'ayat' tersebut mempunyai arti yang dimaksud karena menurut KBBI kata 'ayat' mempunyai tiga makna kata berbeda," jelas Suharjo.
Terhadap permohonan Suharjo, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan bahwa dirinya bingung dengan permohonan yang diajukan. Hal ini karena Mahkamah tidak menangkap undang-undang mana yang diujikan oleh Suharjo.
Senada dengan Arief, Hakim Konstitusi Palguna pun kebingungan dengan pengujian yang disampaikan pemohon.
Dalam pandangan Palguna, apabila pemohon ingin mengajukan perbaikan tata bahasa atau konstitusionalitas UU maka MK bukanlah lembaga yang berwenang melakukan perbaikan tata bahasa.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019