Jakarta (ANTARA) - Tidak seperti biasanya, ternyata Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bisa cepat bekerja untuk mengusulkan dan membahas sebuah rancangan undang-undang (RUU) guna merevisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Para wakil rakyat itu pada hari Kamis (5-9-2019) di Jakarta telah bersepakat penuh untuk merevisi undang-undang tentang lembaga antirasuah tersebut, atau bukan menjadi tugas para wakil rakyat masa bakti 2019 s.d. 2024 yang akan dilantik pada tanggal 1 Oktober 2019.

Rakyat tentu berhak bertanya-tanya mengapa DPR sangat ngotot atau bersikeras untuk merevisi UU KPK ini, padahal 575 wakil rakyat yang baru itu sudah akan dilantik dan bekerja mulai awal bulan Oktober mendatang.

Anggota DPR RI Masinton Pasaribu bahkan mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo seharusnya sudah mengetahui rencana revisi UU KPK yang ternyata didukung oleh partai-partai politik koalisi pendukung Kepala Negara. Biasanya anggota-anggota tak sepakat membahas satu tema karena ada kelompok pro pemerintah dan di lain pihak ada "oposisi". Namun, kali ini semua fraksi tampak rukun dan "bersatu".

Baca juga: Civitas LIPI tolak Revisi UU KPK dan desak Presiden bersikap serupa

Padahal, Jokowi beberapa hari lalu ketika berada di Provinsi Jawa Tengah sudah mengungkapkan bahwa dirinya belum mengetahui niat "Senayan" untuk menyempurnakan (merevisi) UU KPK.

Seorang presiden harus membuat surat persetujuan jika ingin sama-sama membahas sebuah RUU. Jika tidak ada surat presiden, RUU ini tidak bisa dibahas sekalipun merupakan pelaksanaan hak inisiatif DPR. Surat itu lazim disebut ampres atau amanat presiden.

Koalisi pendukung Jokowi, antara lain, PDIP. NasDem, Golkar, PPP, PKB, dan Hanura. Sejumlah partai itu merupakan mayoritas pemegang suara terbanyak di DPR RI. Apabila mereka benar-benar menjadi pendukung sejati Presiden, tentu harus mengetahui cara berpikir Jokowi tersebut.

Masyarakat tentu sudah melihat secara langsung bahwa terdapat sejumlah anggota DPR yang ingin sekali adanya revisi UU KPK ini. Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah mereka itu benar-benar bertekad memperkukuh atau menguatkan lembaga antirasuah ini atau malahan sebaliknya? Bertekad melemahkan atau menjerumuskan lembaga ad hoc yang bersifat sementara ini?

Sejumlah anggota DPR sudah pernah dijebloskan ke jeruji besi milik berbagai lembaga pemasyarakatan, seperti mantan Ketua DPR Setya Novanto yang terlibat dalam kasus proyek "superraksasa" pembuatan KTP elektronik. Belum lagi, mantan anggota DPR Idrus Marham yang terpaksa "jatuh" dari posisinya sebagai menteri sosial, padahal posisi di kabinet itu baru dipangkunya selama beberapa bulan.

Baca juga: AMJ aksi bagikan brosur dukung revisi UU KPK

Penyadapan

Salah satu topik yang ingin dimasukkan ke dalam revisi UU KPK ini adalah harus dibentuknya semacam dewan pengawas KPK yang bertugas memantau atau mengawasi lembaga antikorupsi ini serta jika penyidik KPK ingin melakukan penyadapan tehadap orang-orang yang dicurigai terkait dengan tindak pidana korupsi. Penyadapan harus disetujui dewan pengawas itu.

Sementara itu, DPR bersikeras agar Senayan harus menyetujui pengangkatan para anggota badan pengawas itu.

Sampai detik ini memang para penyidik KPK bisa melakukan penyadapan terhadap orang-orang yang mereka curigai atau terkait dengan korupsi dengan disetujui atasannya di KPK. Jika nantinya harus terlebih dahulu disetujui oleh dewan pengawas, apakah penyadapan itu dapat dilakukan "secepat kilat" seperti sekarang ini?

Kalau ada orang yang ingin disadap pembicaraannya lewat telepon biasa atau telepon genggam alias HP dan ternyata oknum tersebut adalah sahabat atau teman anggota dewan pengawas yang kemudian membuka rahasia bakal dilakukannya penyadapan itu, siapa yang harus dimintai pertanggungjawabannya?

Selain itu, kalau pembentukan dewan pengawas harus disetujui DPR, bagaimana kalau nantinya ada anggota DPR melarang dewan pengawas untuk menyetujui penyadapan pembicaraan seseorang?

Selain itu, jika selama ini penyadapan hanya bisa diketahui penyidik KPK, kelak melalui proses yang "bertele" dan harus memakan waktu yang tidak sebentar maka siapa pula yang harus bertanggung jawab?

Baca juga: Hanura tidak setuju revisi UU lemahkan KPK

Para pemimpin dan pegawai KPK bukanlah orang-orang yang sempurna 100 persen. Akan tetapi, masyarakat harus ingat bahwa Presiden Joko Widodo baru-baru ini sudah menegaskan bahwa KPK sudah bekerja sangat baik.

Jadi, masyarakat bisa berkesimpulan bahwa Kepala Negara sudah merasa puas terhadap kinerja KPK selama ini.

Jika kembali ke "niat tulus" para wakil rakyat "terhormat" untuk merevisi UU KPK, sementara di lain pihak sejumlah anggota DPR sudah masuk bui, pertanyaan mendasar pada diri rakyat adalah apakah bukan tidak mungkin revisi ini semata-mata hanya bertujuan mengurangi hak-hak dan kewajiban KPK untuk bekerja secara maksimal dan sebaik-baiknya.

Masinton Pasaribu tentu berhak untuk ikut memprakarsai revisi UU KPK ini. Akan tetapi, dia juga perlu menyadari bahwa di antara berbagai lembaga penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia, KPK-lah yang paling mendapat simpati mayoritas rakyat.

Selain Setya Novanto dan Idrus Marham, KPK juga memenjarakan mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman yang menerima sogokan "hanya" Rp100 juta dari seorang pengusaha yang berambisi ditunjuk menjadi importir gula untuk wilayah Provinsi Sumatera Barat.

Baca juga: Arief Poyuono sebut revisi UU KPK harus ditolak

Rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia telah tahu bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya sudah melampaui angka Rp2.000 triliun sehingga terdapat peluang bagi para koruptor di tingkat pusat dan daerah untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi, seharusnya semua anggota DPR, termasuk Masinton Pasaribu, untuk menyadari bahwa korupsi harus terus ditindak tegas, termasuk mencegahnya.

Jadi, semua anggota DPR terutama yang bakal mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 30 September, kemudian digantikan oleh wakil-wakil rakyat yang betul-betul terhormat untuk tidak ngotot atau memaksakan diri untuk merevisi UU KPK hanya dalam waktu yang tinggal puluhan hari lagi.

Banyaknya tokoh masyarakat yang telah mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menyetujui revisi UU KPK. Hal ini seharusnya menyadarkan para wakil rakyat di DPR yang “keras kepala“ itu kembali menyadari tugas mereka untuk benar-benar mengabdi kepada rakyat Indonesia, atau bukan demi kepentingan sesaat dan juga partai politik tetentu.

Baca juga: Lembaga keumatan desak Presiden tidak dukung upaya pelemahan KPK

Janganlah masa kerja yang tinggal puluhan hari lagi dijadikan dalih atau alasan untuk membuat proyek revisi yang monumental dan prestisius bagi para pemrakarsa revisi UU KPK ini.

Rakyat tentu boleh berharap peribahasa bahwa "tong kosong nyaring bunyinya" tidak berlaku di MPR, DPD, dan DPR RI, Jakarta Pusat.

*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA pada tahun 1982 s.d. 2018, pernah meliput acara kepresidenan selama 1987 s.d. 2009

Copyright © ANTARA 2019