Jakarta (ANTARA News) -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera melakukan audit khusus terhadap penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah 2007 untuk memastikan transparansi dan efisiensi pinjaman luar negeri berdasarkan data/catatan yang akurat.
"Kita harus melihat bahwa angka-angka itu harus diyakinkan berdasarkan bukti atau data catatan yang benar. Tapi data yang ada tidak bisa diyakini kebenarannya," ujar Auditor Utama III BPK, Syafrie Adnan Baharuddin, di Jakarta, Kamis.
Menurut Syafrie, audit berdasarkan kinerja tersebut akan dilakukan atas pinjaman yang masih berjalan proses pembayarannya dan penarikannya pada tahun berjalan itu.
"Nanti, kita lihat mulai dari fase penarikan pinjaman, penggunaan, hingga proses pembayaran," katanya.
Bahkan, tambahnya, BPK juga akan mengaudit "commitment fee" dan dana pendamping yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka pencairan pinjaman tersebut.
"Semua pinjaman, baik program ataupun proyek, kita audit," katanya.
Bila dalam audit kinerja tersebut terdapat temuan yang signifikan, maka BPK bakal menindaklanjutinya dengan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). "Kita akan rampungkan itu dalam triwulan III/2008," katanya.
Berdasarkan pemeriksaan keuangan (general audit) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2007, BPK mengungkapkan adanya ketidakwajaran pengelolaan saldo dan bunga utang luar negeri pemerintah, terutama karena adanya perbedaan data yang dimiliki Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu dengan data kreditur dan data BI.
"Ada beberapa permasalahan yang terjadi diantaranya perbedaan jumlah penarikan utang luar negeri antara LKPP 2007 dengan laporan keuangan BA (Bagian Anggaran) 096," katanya.
Hal ini juga karena hasil data standar akuntansi umum publik sebagai dasar penyusunan laporan pinjaman luar negeri masih belum reliabel karena data sumber masih bisa berubah-ubah, serta utang diakui saat perjanjian pinjaman diterima bukan pada saat uang pinjaman diterima.
Kepala Seksi Audit LKPP 2007 BPK, Julian menambahkan, berdasarkan data Departemen Keuangan, jumlah outstanding utang pemerintah mencapai sekitar Rp450 triliun, baik dari dalam maupun luar negeri. LN maupun DN. Namun setelah diperbandingkan BPK baik dengan data BI maupun 29 kreditur, data pinjaman yang laporkan pemerintah jauh berbeda.
"Versi BI selisihnya sekitar Rp7 triliun. Lebih besar menurut BI. Kalau menurut kreditur, lebih besar lagi," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR, Harry Azhar Aziz mengatakan, pihaknya sangat mendukung sekali keinginan BPK untuk mengaudit pinjaman luar negeri secara khusus.
"Ada dua kemungkinan sebab selisih tersebut. Bisa karena kesengajaan untuk mengambil uang negara, atau kelalaian pencatatan," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008