Bagaimana dengan tekanan sosial bagi perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan. Padahal, pengguguran kehamilan tidak dapat dihilangkan dalam dinamika di masyarakat kita, katanya

Makassar (ANTARA) - Sejumlah lembaga sipil masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Makassar Tunda Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP) dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak DPR untuk menunda dan tidak terburu-buru mengesahan rancangan perubahan aturan tersebut, karena dinilai akan menciptakan kriminalisasi bagi masyarakat luas.

"Dari hasil pertemuan kami bersama perwakilan lembaga sipil masyarakat, ditemukan ada kejanggalan yang masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut di DPR terutama pada pasal yang berkaitan dengan kesehatan dan kesetaraan gender," kata perwakilan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, sekaligus dari LBH Masyarakat, Genia Teresia saat jumpa pers di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa.

Ada enam pasal yang dirumuskan serta dianggap mendiskriminasikan masyarakat bila itu nantinya disahkan menjadi peraturan. Pertama, pasal kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan suami istri.

Kedua, pasal kriminalisasi kepada setiap orang yang bekerja di jalanan dan anak terlantar. Ketiga, pasal kriminalisasi edukasi dan promosi alat pencegahan kehamilan atau alat kontrasepsi.

Baca juga: ICJR dan PKBI tolak pasal aborsi RKUHP

Keempat, pasal kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan. Kelima, pasal yang berpotensi meningkatkan perda dan sikap diskriminatif dalam pasal hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan keenam, pasal pidana restributif yang efektif untuk pengguna narkoba.

Koordinator program pelatihan BaKTI, Lusi Palulungan dalam keterangannya mengatakan, pada rancangan aturan itu ada multitafsir, salah satunya tentang keasusilaan. Bila melihat pasal kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan diluar nikah, bisa saja menyasar pasangan bukan suami istri atau kelompok rentan, bahkan berpotensi terjadinya pemaksaan perkawinan karena aduannya meluas pada orang tua dan anak.

"Melalui pasal ini, negara mencampuri dan sewenang-wenang atas urusan privat dan sosial individu. Selain itu berpotensi mempidanakan orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke negara dengan alasan ekonomi, perbedaan keyakinan hingga penerapan adat budaya setempat," katanya.

Selain itu, tambah dia, aturan ini terkendala dengan pembuktian serta akan memperlebar ruang masyarakat luas untuk melakukan main hakim sendiri. Seharusnya, aturan ini dibuat lex spesialis atau peraturan lebih khusus apalagi itu menyangkut korban pemerkosaan dan kekerasan seksual.

Baca juga: Anggota DPR: RUU KUHP upayakan tidak ada "pasal karet"

Direktur LBH Apik Makassar Rusmiati Sain pada kesempatan itu mengatakan, masih diperlukan perubahan-perubahan pada sejumlah pasal agar nantinya tidak berujung pada perbuatan kriminalisasi dan persekusi bagi orang lain.

Disebutkan pula orang yang bekerja di jalan dan anak terlantar dengan dalih menggangu ketertiban umum didenda paling banyak Rp1 juta. Namun, ia mengungkapkan, unsur pengelandangan tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga dapat diinterpretasikan secara luas yang berpotensi adanya kriminalisasi terhadap perempuan bekerja pulang malam, pengamen, tukang parkir, orang disabilitas hingga gelandangan.

Pasal ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 disebutkan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Sementara di pasal kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan, tentu menempatkan perempuan tidak lagi memiliki posisi tawar.

"Bagaimana dengan tekanan sosial bagi perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan. Padahal, pengguguran kehamilan tidak dapat dihilangkan dalam dinamika di masyarakat kita," katanya.

Hal senada diutarakan Perkumpulan Samsara, Sartika Basmar dengan menyebut bahwa sebagai remaja tidak memahami alat reproduksi tubuhnya, ditambah mitos-mitos seksualitas pada masyarakat, sehingga dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam hal ini. Begitupun alat pencegah kehamilan, dipandang perlu diberikan infomasi benar, kepada mereka dan tidak harus mengendepankan pidana.

Baca juga: Komnas HAM keberatan tindak pidana khusus masuk RKUHP

Tidak hanya itu, disebutkan pula bagi perempuan yang melakukan pengguguran kandungan (aborsi) baik melalui persetujuan ataupun tidak maka akan tetap dikenakan pidana. Terkait dengan aborsi ilegal maupin legal, aborsi akan tetap ada, sehingga diperlukan konseling bagi kehamilan yang tidak direncanakan, mengingat aborsi merupakan penyumbang 75 persen angka kematian ibu hamil.

"Pasal ini sejak awal dirumuskan tidak mengalami perubahan karena pembuat kebijakan enggan membahas lebih dalam, tentu ini semakin berbahaya untuk kesehatan dan masa depan perempuan. Padahal, ada PP Nomor 61 tahun 2014 aturan bagi perempuan bila menggugurkan kandungannya," beber dia kepada wartawan.

Sedangkan dari perwakilan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melalui Andi Iskandar mengemukakan, pasal pidana bagi retributif yang tidak efektif untuk pengguna narkoba, bertentangan dengan Undang-Undang 35 tahun 2009 tentang Narkotika dijabarkan dengan tegas tujuan dari kebijakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi.

Pasal-pasal karet yang tercantum dalam KUHP justru akan mengkriminalisasi pencandu yang seharusnya diselamatkan. Ia menegaskan penjara bukan satu-satunya solusi dan jalan terakhir bagi pecandu narkoba. Sebab ada beberapa tahapan salah satunya rehabilitasi. Tidak hanya itu, diduga rutan maupun lapas menjadi tempat pengatur peredaran narkotika hingga surga bagi pencadu dan bandar narkotika.

"Kebijakan dalam RKUHP menghilangkan pengutamaan rehabilitasi adalah kesalahan besar, justru diduga kuat lapas maupun rutan malah menjadi tempat aman hingga merekrut anak untuk menjadi pengedar. Malahan RKUHP itu akan menghilangkan fungsi administrasi dari UU Narkotika yakni rehabilitasi. Pendekatan narkotika seharusnya kesehatan bukan pemidanaan," kata dia menegaskan.

Untuk itu pihaknya mendesak DPR menunda pengesahan RKUHP yang direncanakan pada 24 September 2019 dan melanjutkan pada priode berikutnya karena dinilai menutup jalur diskusi dengan masyarakat sipil.

Mengevaluasi lalu menghapus atau mengubah pasal yang berpotensi membahayakan kesehatan publik dan kesetaraan gender dalam RKUHP tersebut.

Berdasarkan evaluasi tersebut, diminta pembahasan revisi KUHP secara parsial terhadap ketentuan yang dianggap prioritas dengan melibatkan ahli-ahli di bidangnya. Mendorong RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai warisan hukum serta menunda penetapan revisi RKUHP.

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019