Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama (Menag), M. Maftuh Basyuni membeberkan kelahiran Ahmadiyah di hadapan para anggota Komisi VIII DPR RI di Jakarta, Kamis, terkait keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB), Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, yang berupa larangan bagi Ahmadiyah menghentikan seluruh aktivitasnya di tanah air.Menag hadir bersama Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam rangka Rapat Kerja (Raker) dengan anggota dewan. Raker dipimpin Ketua Komisi VIII Hazrul Azwar sepenuhnya membahas SKB yang diterbitkan pada 9 Juni 2008, demikian siaran pers dari Depag yang diterima ANTARA News, di Jakarta, Kamis.Sebelumnya Maftuh menjelaskan bahwa penolakan ajaran Ahmadiyah bukan hanya datang dari umat Muslim Indonesia saja. Umat Islam di Malaysia, Brunei dan Pakistan juga menentang ajaran tersebut. Bahkan Kerajaan Arab Saudi dan organisasi Islam Internasional Rabithah Alam Islami juga menyatakan menolak, ujar Maftuh Basyuni. Ia kemudian membeberkan sejarah kelahiran Ahmadiyah. Ahmadiyah didirikan di Kota Qodian, India, oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 23 Maret 1889. Dalam perkembangannya Ahmadiyah terbagi menjadi dua aliran yaitu Ahmadiyah Qodian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodian meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sementara Ahmadiyah Lahore menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai pembaharu. Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada 1925 dalam bentuk organisasi. Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) sebagai pengikut Ahmadiyah Lahore dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai pengikut Ahmadiyah Qodian. Dalam perkembangannya, JAI sebagai organisasi telah terdaftar sebagai badan hukum berdasarkan penetapan Menteri Kehakiman RI nomor JA.5/23/13 tangggal 13 Maret 1953 yang dimuat dalam Berita Negara nomor 26 tanggal 31 Maret 1953. Lantas, JAI terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan di Depdagri dengan nomor 75/D.I/VI-2003 tanggal 5 Juni 2003. Belakangan, lanjut Menag, JAI di Indonesia mendapat penolakan dari umat Islam. Penolakan itu dalam bentuk keberatan dan pengrusakan bangunan rumah, masjid dan musala milik Ahmadiyah di berbagai daerah. Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 1990 yang menyatakan Ahmadiyah Qodian adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Pernyataan serupa dikeluarkan PBNU, Muhammadiyah dan beberapa organisasi Islam lainnya, Maftuh menjelaskan. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Depag bersama Jaksa Agung, Mendagri, dan Mabes Polri serta beberapa tokoh agama mengupayakan dialog dengan pengurus Jemaat Ahmadiyah. Sayangnya, dari hasil pantauan, ternyata dialog tidak dapat terlaksana dengan baik karena tak mendapat sambutan dari Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI).(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008