Jakarta (ANTARA News) - Muatan kekerasan di media yang paling dekat dengan anak yakni televisi, video permainan (video games) serta komik kian melimpah dan dampak negatifnya sudah sangat mengkhawatirkan, kata aktifis Yayasan Pengembangan Media Anak Nina M. Armando di Jakarta, Kamis. Pada acara diskusi publik tentang kekerasan dalam media anak Nina mengatakan sebagian besar tayangan televisi yang rata-rata ditonton anak sekitar 4,5 jam dalam sehari dikategorikan tidak sehat atau bermasalah. Menurut dia, acara anak di televisi yang pada akhir 2007 dalam sepekan terdiri atas 70 judul dan 291 episode serta ditayangkan selama 174,5 jam dengan sembarang jam tayang sebagian besar mengandung unsur kekerasan, seks dan mistisisme. Analisa tayangan anak selama April 2008 yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), menurut Wakil Ketua KPI Fetty Fajriati Miftach, juga menunjukkan 20 persen dari sekitar 47 program anak dalam sepekan yang ditayangkan dengan durasi 30 menit di tujuh stasiun televisi tidak sesuai dengan Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Pelanggaran itu, katanya, antara lain berupa penayangan adegan kekerasan, adegan yang menakutkan bagi anak, penggunaan senjata, sikap tidak baik terhadap orang tua, adegan ciuman, adegan pacaran, penggunaan alkohol dan rokok serta perilaku antisosial. "Tayangan acara anak juga diwarnai dengan penggunaan bahasa kasar dan iklan yang mendorong anak menjadi konsumtif," kata Nina serta menambahkan tayangan televisi yang bermuatan kekerasan antara lain berupa film, sinetron, animasi dan klip musik. Dosen ilmu komunikasi di Universitas Indonesia itu menjelaskan pula bahwa video permainan yang kini bisa didapat secara mudah dengan harga sangat murah juga semakin banyak mengandung muatan kekerasan dan seks. Muatan kekerasan dalam piranti yang sebelumnya merupakan alat simulasi bagi tentara yang dibuat industri militer Amerika untuk desensitisasi dalam latihan menembak itu, katanya, kini dibungkus dengan efek yang sangat bagus sehingga mempesona anak-anak yang memang sedang berada pada tahap "menyerap" semua yang ada di sekitarnya. "Dan video yang semula diperuntukkan bagi militer itu sekarang seperti menjadi alat sosialisasi kekerasan kepada anak-anak. Bisa diperoleh dengan mudah dan murah," katanya. Ia menambahkan, komik yang banyak dikonsumsi anak-anak pun sebagian besar sebenarnya tidak layak dibaca anak-anak karena isinya mengandung unsur kekerasan dan seks. Tayangan media anak yang demikian, ia melanjutkan, berpengaruh negatif terhadap anak yang dalam hal ini merupakan kelompok rentan karena mereka cenderung tidak kritis, loyal terhadap sesuatu yang telah disukai dan kerap tidak mampu membedakan fantasi dan realitas. "Akibatnya antara lain seperti yang kita lihat dan dengar beberapa waktu lalu, ada anak yang sakit dan bahkan meninggal dunia karena menirukan adegan dalam tayangan `smackdown`," katanya. Ia menjelaskan, masuknya muatan negatif dalam tayangan media anak tidak lepas dari pengaruh kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan seperti perhitungan komersial dalam industri media, pengelola media yang tidak peduli terhadap kepentingan anak dan anak-anak telah dianggap sebagai pasar baru yang menjanjikan oleh pengelola media. "Selain itu juga tidak ada perlindungan cukup bagi anak, baik yang berupa regulasi mengenai anak dalam iklan, iklan untuk anak, dan tayang. Aturan terkait yang ada juga tidak berjalan," katanya. Keluarga pun, menurut dia, tidak cukup sadar akan dampak media terhadap perkembangan anak-anak mereka sehingga sama sekali tidak mengontrol media yang dikonsumsi anak serta mendampingi anak menonton atau membaca media. Lebih lanjut ia menjelaskan, karena regulasi yang ada saat ini belum mampu melindungi anak dari paparan tontonan yang tidak sehat maka sebaiknya orang tua dan keluarga memberikan perlindungan sendiri kepada anak-anak mereka. Hal itu, menurut dia, antara lain bisa dilakukan dengan membatasi jam menonton televisi anak dan menyediakan alternatif kegiatan yang lain, memilihkan tontonan dan bacaan yang tepat bagi anak, serta mendampingi anak menonton. Sementara KPI, menurut Fetty, telah meminta pengelola stasiun televisi mencantumkan klasifikasi program, memberikan teguran sampai sanksi administratif kepada pengelola media yang melakukan pelanggaran, serta bersama Polri dan masyarakat melayangkan gugatan kepada lembaga penyiaran yang terbukti melanggar undang-undang. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008