Brisbane (ANTARA News) - Tantangan terbesar sekolah-sekolah di Australia dalam pengajaran bahasa-bahasa Asia, termasuk bahasa Indonesia, adalah kurangnya jumlah guru yang profesional dan bekerja penuh waktu, kata Indonesianis Universitas Nasional Australia (ANU), George Quinn."Kita harus mengusahakan adanya guru-guru yang profesional dan `full time` (penuh waktu) bukan mereka yang mengajar secara sambilan," katanya kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane belum lama ini sehubungan dengan keinginan pemerintah federal Australia kembali menggairahkan pengajaran bahasa Asia.Kepala Pusat Asia Tenggara ANU itu mengatakan, masalah yang kini dihadapi banyak sekolah di Australia dalam pengajaran bahasa-bahasa Asia, seperti Indonesia, Mandarin, dan Jepang, adalah para guru kurang menguasai bahasa-bahasa tersebut secara baik.Akibatnya, mereka kurang percaya diri dan bisa mengajar dengan daya cipta yang baik seperti di masa lalu. "Dulu, guru-guru bahasa Indonesia di Australia misalnya ada yang betul-betul menguasai bahasa Indonesia dengan baik," katanya. Ditanya apakah kemungkinan pelajaran bahasa selain bahasa Inggris (LOTE) itu akan menjadi mata pelajaran wajib di sekolah, dosen senior di Fakultas Studi-Studi Asia ANU yang merampungkan pendidikan sarjananya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengatakan, ia belum melihat adanya kemungkinan tersebut. Dalam pandangan George Quinn, pengajaran bahasa-bahasa Asia adalah isu yang memang dianjurkan dalam KTT 2020 di Canberra April lalu namun menjadikannya mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah memerlukan proses yang panjang dan akan memicu kontroversi karena dipastikan akan menimbulkan penentangan sebagian siswa. "Dulu pun, mata pelajaran bahasa asing bukan mata pelajaran wajib," kata Indonesianis yang tertarik pada isu-isu sastra dan budaya kontemporer Jawa ini. Ditilik dari kondisi riil para siswa Australia yang belajar salah satu bahasa asing, termasuk bahasa-bahasa Asia, hingga kelas 12, jumlahnya cenderung menurun. Kurang dari 14 persen Wakil PM Australia, Julia Gillard, yang juga menteri pendidikan dalam kabinet pemerintahan PM Rudd mengatakan, jumlah siswa kelas 12 di Australia yang mempelajari bahasa asing kini kurang dari 14 persen. Dari jumlah itu, hanya sekitar 5,8 persen yang belajar bahasa-bahasa Asia di kelas 12. Di tingkat universitas, proporsi mahasiswa yang belajar bahasa-bahasa Asia jauh lebih rendah, yakni sekitar tiga persen, katanya. Kondisi monolingual mayoritas siswa dan mahasiswa Australia itu, katanya, bertolak belakang dengan fakta yang dapat ditemui di Belanda dan Finlandia, kata Gillard dalam pidatonya bertajuk "Leading 21st Century Schools Engage With Asia Forum" 20 Mei lalu. Di Belanda, jumlah siswa sekolah menengah pertama yang mengambil satu mata pelajaran bahasa asing mencapai 99 persen, dan di Finlandia, para siswa diwajibkan mempelajari tiga bahasa asing di sekolah, katanya. Kondisi monolingual di Australia umumnya ditemui di kalangan warga kulit putih keturunan "Anglo Saxon" karena mereka tampaknya merasa cukup hanya dengan bahasa Inggris yang telah menjadi bahasa internasional. Untuk memenuhi kebutuhan diplomasi jangka panjang dan meningkatkan daya saing Australia di abad 21, Menteri Pendidikan Julia Gillard mengatakan, pemerintah federal akan mengalokasikan dana sebesar 62,4 juta dolar dalam empat tahun untuk mendukung Program Nasional Studi dan Bahasa Asia di Sekolah. "Program ini akan mendukung studi bahasa-bahasa Asia di sekolah lanjutan atas dengan penekanan pada bahasa Jepang, Indonesia, Mandarin, dan Korea,"katanya. Di seluruh Australia, jumlah siswa yang belajar bahasa Indonesia mencapai 170 ribu orang.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008