KPK, kata Romli, apabila menemukan ada indikasi praktik korupsi, seharusnya mengutamakan koordinasi dengan lembaga terkait.
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana Prof Romli Atmasasmita mengatakan wacana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai wajar untuk mengembalikan semangat dan cita-cita dibentuknya lembaga antirasuah tersebut.
Menurut dia, pembahasan revisi UU KPK sudah memenuhi unsur yuridis, filosofis, dan sosiologis.
"Karena sejak 2002 dipraktikkan UU itu, dalam praktiknya ada yang tidak sesuai, ada kurang pas di lapangan," kata Prof Romli, melalui siaran pers, di Jakarta, Senin.
Menurut dia, dari aspek filosofis, revisi UU tersebut akan mengembalikan maruah dan jati diri ketika dibentuknya KPK sebagai lembaga yang fokus menangani permasalahan korupsi.
Romli memberikan contoh soal hilangnya peran strategis KPK dewasa ini. Menurutnya, hal itu dapat dilihat dari tugas lembaga antikorupsi soal koordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung, Polri dan kementerian terkait.
Pasalnya, kata Romli, untuk saat ini, KPK kadang tidak berkoordinasi dengan lembaga-lembaga tersebut apabila melakukan penindakan. Padahal, menurutnya, tugas utama KPK adalah melakukan koordinasi selain penindakan.
Romli juga mengkritisi kewenangan penyadapan KPK.
Saat ini, KPK boleh melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan. Berbeda dengan pihak dari Kejagung dan Polri.
Jika ditinjau dari peran supervisi yang dimiliki KPK, kata Romli, apabila menemukan ada indikasi praktik korupsi, KPK seharusnya mengutamakan koordinasi dengan lembaga terkait.
Baca juga: Komisi III DPR berharap Presiden terbitkan surpres revisi UU KPK
Kemudian apabila masih ditemukan 'permainan' setelah dilakukan koordinasi, maka KPK dapat melakukan penindakan, mengingat, tugas utama KPK adalah koordinasi, supervisi, baru penindakan.
"Baru penyidikan, kemudian tuntutan ke pengadilan itu, jangan kebalik," ujar Romli.
Kemudian, dari aspek sosiologis, Romli menyebut, saat ini tidak seluruh suara masyarakat memberikan dukungan kepada KPK. Pasalnya, hal itu dapat dilihat dari respons masyarakat yang pro dan kontra terkait pembahasan revisi UU KPK.
"Pertimbangan sosiologis kita lihat dulu, waktu KPK dibentuk, dukungan masyarakat luar biasa. Sekarang lihat revisi, ada pro kontra," katanya pula.
Baca juga: UII meminta DPR batalkan revisi UU KPK
Sedangkan dari aspek yuridis, Romli menuturkan bahwa dapat dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi UU KPK. Dalam putusan itu disebutkan bahww KPK adalah lembaga independen cabang kekuasaan eksekutif yang menangani permasalahan korupsi.
"Kalau itu putusan MK, maka dampaknya UU KPK direvisi karena UU KPK tak sebut lembaga independen jalan tugasnya penyelidikan, penyidikan dan tuntutan. Dengan putusan MK itu UU KPK diperbaiki secara struktural dan organisatoris," ujar Romli.
Romli menyebut, cita-cita dibentuknya Wadah Pegawai KPK juga melenceng dari aturan yang ada, mengingat wadah itu seharusnya dibentuk untuk fokus ke masalah internal bukan eksternal di luar KPK.
"Wadah Pegawai KPK bukan untuk demo. Nah ini eksternal diurus," katanya pula..
Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan Badan Legislasi (Baleg) DPR telah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR pada sidang paripurna pada 5 September 2019.
Baleg akan mempercepat pembahasan revisi itu, sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 habis.
Baca juga: KPK hormati perintah Presiden kepada Menkumham pelajari revisi UU KPK
Beberapa poin revisi UU KPK menyangkut beberapa hal, antara lain mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada tingkat eksekutif atau pemerintahan, status para pegawai KPK, pembentukan dewan pengawas, kewenangan penyadapan KPK dilakukan setelah mendapat izin dari dewas, dan KPK harus menghentikan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi yang tidak selesai dalam satu tahun atau dengan menerbitkan SP3.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019