Jakarta (ANTARA News) - Indonesia mustahil berkompetisi sebagai negara penghasil perangkat keras
(hardware) teknologi informasi (TI), namun peluang untuk berkompetisi ada di bisnis perangkat lunak
(sottware)-nya.
"Kalau Indonesia memaksa masuk ke perangkat keras sudah tertinggal 20 tahun. Ongkos terlalu besar dan profit terlalu kecil," kata Wakil Presiden Etika Bisnis Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki) Richard Kartawijaya di Jakarta, Rabu.
Di sela-sela workshop Menuju Kebangkitan Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional untuk Inovasi Konten pada Sistem Pelayanan, Richard Kartawijaya mengatakan, bisnis perangkat keras telah dikuasai banyak negara, seperti Jepang, Taiwan, hingga China.
Menurut dia, dunia perangkat lunak TI masih sangat terbuka luas untuk dimasuki Indonesia, dan saat ini perputaran uang dalam dunia itu rata-rata mencapai 1,4 triliun dolar AS (Rp14.000 triliun) dengan tingkat pertumbuhan 12 persen.
Angka itu termasuk untuk
packaged software senilai 400 miliar dolar AS dan non-packaged 1 triliun dollar AS, dan separuh dari angka 1,4 triliun dolar AS tersebut merupakan porsi AS. Sementara itu, perputaran uang di dunia
software di Indonesia, mencapai Rp2,5triliun hingga Rp3triliun.
Tapi, kata dia, Indonesia hanya sedikit menelurkan orang-orang yang terspesialisasi di dunia teknologi informasi, yakni hanya 35.000 orang per tahun, meskipun dunia pendidikan sanggup menghasilkan pekerja bidang tersebut hingga 115.000 orang per tahun.
"Bandingkan dengan China yang menelurkan 600 ribu insinyur teknologi informasi baru per tahun atau India 350.000 insinyur, AS 70.000 baru per tahun," katanya.
Ia mengatakan, para pembuat program di Indonesia belum digaji secara layak dengan rata-rata gaji Rp2juta hingga Rp10juta per bulan meskipun memiliki kualitas yang tidak kalah, sementara di Singapura saja programmer digaji Rp20juta hingga Rp90juta per bulan.
Menurut dia, saat ini
software outsourcing sudah semakin populer di dunia, dengan AS menjadi pelaku
outsourcing pekerja dari Eropa Barat, India dan China, sementara Eropa Barat menjadi pelaku
outsourcing dari China, India, Amerika Selatan dan Eropa Timur.
Diakuinya perusahaan-perusahaan teknologi informasi dunia masih terpusat di AS dan Eropa Barat, bahkan India yang dikenal sebagai raksasa software hanya sedikit memiliki perusahaan besar yang bergerak di bidang itu. Sebagian besar pekerja teknologi infomrasinya nya hanya bekerja sebagai "kuli" di perusahaan-perusahaan besar di AS tersebut.
"Lebih parah lagi, pekerja teknologi informasi Indonesia masih sulit masuk ke perusahaan-perusahaan dunia. Ini mengkhawatirkan. Perusahaan `outsourcing software` dari luar yang beroperasi di Indonesia kebanyakan dari Singapura dan Malaysia," katanya. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008