Oleh SuryantoJakarta (ANTARA News) - Gebrakan Asus dan Intel dengan laptop murahnya "Eee PC" dan Zyrex dengan "Anoa" mengagumkan banyak orang. Namun, sesuatu yang lebih dahsyat tengah berlangsung saat pendiri lembaga nirlaba "One Laptop Per Child" (OLPC) Prof Nicholas Negroponte mengembangkan produk sejenis yang jauh lebih murah. OLPC mengembangkan laptop super murah, yang harganya hanya 100 dolar per unit, atau kurang dari Rp1juta. Laptop yang diproduksi untuk program bantuan bagi anak-anak sekolah di negara berkembang itu mengundang reaksi dari berbagai kalangan, baik pakar maupun industri teknologi informasi, hingga politikus yang diperkirakan akan mengambil manfaat dari program itu untuk mendongkrak popularitasnya di mata rakyat. Sebagian kelompok merasa terusik karena harga yang lebih murah untuk jenis barang sama tentu akan mengganggu keberadaan barang sejenis lainnya yang dijual dengan harga lebih mahal. Kalau mengatakan "program bantuan ini akan merusak pasar laptop" dianggap tabu, beberapa kalangan memprediksi bahwa karya Negroponte dan XO (perusahaan perakitnya) ini akan melemahkan penjualan laptop yang telah ada di pasaran. Seorang peneliti senior di perusahaan riset dan konsultan teknologi informasi Gartner, Brian Gammage, dengan terus terang menyebut kemunculan OLPC akan diamati dengan cermat oleh para produsen personal komputer dunia, sebab hal itu akan menjadi bagian dari porsi pasar yang mereka sedang sasar. Jika tidak ada implikasi yang ditimbulkan pada kategori spesifikasi peralatan dan biaya pembuatannya, kemudian tidak ada gangguan yang ditemukan dalam jumlah produksinya, maka akan banyak konsumen yang membeli laptop ini. "Itu merepresentasikan kanibalisasi dalam sebuah industri yang selalu dalam tekanan," kata Brian kepada sebuah media Inggris. Sebuah situasi tidak menguntungkan terbangun ketika para pembuat PC terjebak dalam industri yang tidak sehat karena mereka akan terus bersaing dalam margin yang rendah. Sebelumnya pun, persaingan ketat sudah berlangsung ketika banyak perusahaan menghadapi penjualan yang rendah dan sama-sama memilih produk jinjing dan praktis sebagai satu jalan keluar. Para produsen PC pun berlomba-lomba membuat "PC portable" alias laptop yang pasarnya tumbuh dengan sangat cepat. Upaya produsen PC itu ternyata tidaklah cukup, karena entah sudah diprediksikan atau belum, para pembuat peralatan "portable" jenis lain seperti "smart-phone" juga mengikuti langkah mereka. Terlebih industri yang kedua ini jauh lebih mahir dalam membuat dan merakit komponen kecil dalam peralatan yang berukuran kecil itu. "Perang" pernyataan untuk mempertahankan citra produk yang merasa terancam pun dibangun. Dengan alasan yang sangat realistis, general manajer di Intel, Willy Agatstein, mengatakan bahwa sangat tidak sepadan jika laptop buatan XO dan gadget sejenis keluaran Asus bersama Intel itu dibandingkan dengan laptop berbasis PC yang sudah dikembangkan HP, Dell, Sony, maupun Acer selama ini. Laptop 100 dolar dari XO dan Eee PC punya Asus, serta Anoa dari Zyrex adalah dua alat yang dirancang untuk suatu kegunaan yang unik, yakni membantu dunia pendidikan bagi anak-anak di negara berkembang. Dengan alasan itu, maka alat itu menonjolkan pertimbangan jangkauan harga dengan spesifikasi dan fungsi yang disesuaikan alias lebih terbatas. "Tidak ada satu ukuran yang pas buat semua," kata Willy. Menanggapi berbagai komentar mengenai langkahnya itu, Negroponte mengatakan, akan mengabaikan kritik-kritik mengenai proyeknya itu.Laptop untuk program "One Laptop Per Child" memiliki spesifikasi yang sangat berbeda dengan laptop pada umumnya, sebagaimana dikupas oleh penggagasnya Nicholas Negroponte di internet baru-baru ini. Untuk memastikan bahwa laptop itu sempurna sebagai peralatan yang mudah dipelihara, maka beberapa perlengkapan yang mudah dipasang dan dilepas sengaja tidak disertakan. Laptop buatan XO tersebut tidak dilengkapi dengan CD maupun DVD drive. Prosesornya yang berkemampuan rendah juga tidak dilengkapi dengan kipas pendingin. Sementara kapasitas "hard drive"-nya adalah 1 GB, seperti umumnya digunakan kamera digital. Pengembangan perlengkapan memory dapat dilakukan dengan memanfaatkan slot "memory card" yang ada di bawah layar atau dengan memasang perangkat melalui port USB (universal serial bus) yang ada di sisi kotak layar. Mengatasi kapasitas "hard drive" yang hanya 1 GB ini, pengguna yang sasarannya adalah anak-anak sekolah menyimpan file ke dalam komputer server besar yang dipasang di ruang sekolah atau dengan memanfaatkan fasilitas online yang dikembangkan Google, sang mesin pencari raksasa. Chip prosesor dalam laptop ini adalah buatan AMD yang memiliki kemampuan kecepatan hanya 433 Mhz. Sebagai perbandingan PC terbaru saat ini rata-rata memiliki prosesor berkecepatan di atas 3 Ghz. Prosesornya juga dirancang hemat energi. Berbeda dengan prosesor komputer pada umumnya yang tetap aktif meski tidak ada aktivitas yang tampak di layar, prosesor untuk laptop ini bisa "shut down" sendiri dan baru aktif ketika dibutuhkan saja. Graphic card dibuat "in-built" (menyatu dengan komponen utama/mother board). Perangkat wi-fi "adapter"-nya juga tetap bisa berfungsi meski prosesor utamanya sedang tidak aktif. Perangkat wi-fi yang terpasang juga mendukung "wireless protocol" yang digunakan di kantor-kantor dan rumah. Salah satu bagian laptop itu yang sangat unik adalah komponen untuk suplai energi. Selain bisa memanfaatkan energi matahari melalui "solar panel" yang terpasang, laptop ini juga bisa disuplai energi melalui alat engkol yang didesain seperti "yo yo", sedangkan ketika berada di ruangan berlistrik, laptop ini hanya membutuhkan 18 watt.Sosok pioner Nicholas Negroponte adalah seorang pionir Internet, penulis, dan pria yang memiliki visi-visi besar dan mulia. Sebagai pendiri dan pimpinan OCPL, sebuah organisasi non-profit, Negroponte telah bekerja keras untuk mengusahakan penggunaan komputer dalam dunia pendidikan di negara-negara miskin di dunia. Sejak 2005 fokus dari proyek Negroponte adalah membuat sebuah laptop inovatif yang akan didistribusikan bagi anak di negara berkembang dengan biaya hanya 100 dolar. Guru di bidang komputer asal Amerika ini telah memperoleh dua gelar arsitek profesional bidang teknologi dari the Massachusetts Institute of Technology pada 1960-an dan kemudian mendirikan MIT`s Architecture Machine Group pada 1968. Pada tahun 1980-an, ia memimpin MIT Media Laboratory, ketika banyak teknologi yang memanfaatkan "revolusi digital" dikembangkan, termasuk komunikasi nirkabel, dan pendekatan progresif mengenai bagaimana anak belajar. Seorang rekannya di MIT, Profesor Ken Morse, menjulukinya sebagai "seorang pemimpin yang tak pernah kenal lelah". Kini kerja keras dan keinginan Negroponte terwujud, keinginannya untuk memfasilitasi penggunaan perangkat teknologi tinggi di kalangan anak-anak negara miskin sudah ia buktikan. Uruguay adalah negara pertama yang menyambut baik program laptop murahnya. Negara di Amerika Selatan ini membeli 100.000 unit laptop yang digagas Negroponte, untuk dibagikan bagi anak sekolah usia 6 tahun hingga 12 tahun. Selanjutnya pemerintah negara ini kemungkinan akan membeli hingga 300.000 unit untuk bisa menyediakan satu laptop per anak pada 2009. Di Nigeria, laptop OCPL juga sudah dinikmati oleh 300 anak sekolah berkat dukungan Ayo Kusamotu, seorang pengacara dan sukarelawan yang mendukung OCPL di negara Afrika itu. Menyusul Nigeria, sedikitnya 6.500 anak sekolah di daerah Caldas, Kolumbia juga segera mendapatkan laptop itu. Lalu kapan laptop murah tersebut bisa dinikmati anak-anak negara miskin atau berkembang di belahan dunia lain, termasuk Indonesia? Sinergi pemerintah dan pengusaha agaknya menjadi pihak yang bakal dapat mempercepat perwujudannya. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008