Jakarta (ANTARA News) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa seharusnya pemerintah bersikap lebih tegas terhadap Ahmadiyah, seperti apa yang difatwakan MUI bahwa Ahmadiyah sesat. "Kami tetap meminta, agar Pemerintah membubarkan dan melarang Ahmadiyah di Indonesia. Ini belum bisa menyelesaikan masalah," kata KH Cholil Ridwan di Jakarta, Senin, terkait dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Jaksa Agung. Pihaknya telah menduga bahwa bunyi SKB tidak menyebutkan melarang dan membubarkan Ahmadiyah. "Kami sudah duga sebelumnya bahwa memang SKB itu akan demikian bunyinya," kata Cholil Ridwan. "Yang penting sekarang, pemerintah harus konsekuen bahwa aparat, dan pemerintah harus melakukan pengawasan sampai ke pelosok-pelosok. Ini juga sebetulnya jadi pekerjaan rumah buat kita. Memang kalau harus begini caranya, ya kita jalankan saja. Mungkin memang harus ada pelanggaran dulu oleh Ahmadiyah," kata Cholil Ridwan. Ia mencontohkan, di Makkah aliran Ahmadiyah dikatakan sebagai kafir, dan mereka dilarang untuk memasuki kota Makkah. "Di Pakistan sendiri juga dilarang dan mereka hidup sebagai sebuah aliran di luar agama Islam," kata Cholil Ridwan. Ditambahkannya, seharusnya Pemerintah hanya memberikan dua pilihan saja pada Ahmadiyah. "Mereka tobat dan kembali kepada ajaran Islam yang khaffah. Atau membikin aliran agama sendiri di luar Islam seperti di Pakistan," kata KH Cholil Ridwan. Pemerintah, melalui proses yang cukup lama, akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Melalui Menteri Agama (Menag), M. Maftuh Basyuni, Pemerintah RI mengumumkan bahwa penyimpangan nyata yang dilakukan oleh jemaat Ahmadiyah adalah mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad, dan ajaran-ajaran tercantum dalam kitab Tazkirah. Dengan ketentuan itu, maka Pemerintah melalui SKB tiga menteri mengeluarkan peringatan dan perintah kepada Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya. "Sepanjang dia mengakui sebagai Islam, dia harus melaksanakan kepercayaan yang dianut umat Islam mayoritas, antara lain, tidak boleh lagi mengakui ada Nabi dan ajaran-ajaran sesudah Nabi Muhammad SAW. Jika tidak mengindahkan perintah dan peringatan ini dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Menag. Selain dengan keyakinannya terbukti menyimpang dari ajaran Islam, Menag mengatakan jemaat Ahmadiyah harus menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Mengenai sanksi yang akan dijatuhkan, bukan hanya ditujukan kepada jemaat Ahmadiyah saja, tetapi juga warga yang mengambil tindakan sendiri kepada jemaat Ahmadiyah yang masih menjalankan kegiatannya. Sementara Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan sesuai dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 bentuk SKB itu merupakan peringatan dan perintah, diperingati dan diperintahkan kepada anggota dan pengurus jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan apabila tidak mengindahkan perintah akan dikenai sanksi. "Mereka akan dikenai pasal 156A KUHP yaitu penodaan terhadap agama, karena telah menodai suatu agama. Bagi mereka yang tidak menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama, yang melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah itu bisa digunakan pasal 156 KUHP yaitu menyebarkan kebencian terhadap golongan tertentu. Jadi yang satu menodai agama 156A, yang menyebarkan kebencian 156," katanya. Sedangkan yang melakukan kekerasan di depan umum, lanjut Hendarman, bisa terkena pasal 170 KUHP dengan ancaman penjara maksimal lima tahun. "Kalau menyebabkan luka enam tahun, kalau luka berat tujuh tahun. Kalau melanggar ketertiban ormas itu bisa dilakukan pembekuan sesuai dengan ketentuan UU Nomor 1985 dan PP Nomor 18/1986. Itu sanksi yang bisa digunakan SKB," kataanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008