Demak (ANTARA) - Yayasan Dharma Bakti Lestari bekerja sama dengan Sahabat Lestari dan Media Group mencoba meluruskan kembali pandangan keliru yang sempat diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat terkait sejarah Raden Fatah dan Sultan Trenggana lewat diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD).
FGD yang dihadiri sejumlah pembicara dari berbagai universitas terkemuka di Tanah Air itu, digelar di Hotel Amantis, Demak, Sabtu.
Sejumlah pembicara yang diundang, yakni Guru Besar Emeritus UGM Djoko Suryo, Guru Besar UGM Inajati Adrisijanti, Guru Besar UGM/Filolog Chamamah Suwarno, Guru Besar UIN Jakarta Budi Sulistiono, Rektor Unisnu Sa'adullah Assaidi, Dosen UIN Yogyakarta Jadul Maulana, Dosen Undip Soetejo KW, Yayasan Menara dan Makam Sunan Kudus Najib Hassan, Dosen Undip Chusnul Hayati dan Dosen Undip Dewi Yuliati M.A.
Baca juga: Masjid Keramat bukti sejarah kejayaan Islam masa Kerajaan Demak
Guru Besar UGM Inajati Adrisijanti di Demak, Sabtu, mengungkapkan bukti-bukti keberadaan Raden Fatah terdapat dalam beberapa catatan sejarah dan bukti-bukti arkeologi.
Dari catatan sejarah, katanya, dapat ditemukan di buku karya Tome Pires yang berjudul Suma Oriental dan buku karya Diogo de Couto yang berjudul Da Asia.
"Bukti-bukti arkeolog itu bisa ditemukan lewat makam yang ada di Kerajaan Demak," ujarnya.
Lebih lanjut, Inajati menyebutkan, dalam Masjid Agung Demak ada yang namanya "Maksurah" yaitu pelindung bagi para pemimpin pada waktu melaksanakan salat.
Lambang Maksurah itu, katanya, hanya dipakai untuk tokoh penting dan raja-raja Majapahit sehingga menjadi bukti bahwa Raden Fatah adalah tokoh penting bagi Kerajaan Demak.
Pembicara lainnya, Dosen Undip Semarang Dewi Yuliati mengungkapkan rasa terima kasihnya atas terselenggarakan acara FGD ini karena bisa dijadikan sebagai alat untuk memperkaya wawasan mengenai sejarah dan budaya di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan Raden Fatah dan Kerajaan Demak.
Baca juga: Pewaris Kerajaan Aceh gelar upacara pengibaran Alam Pedang
Ia juga menyinggung soal pendapat tokoh masyarakat yang menyebut Raden Fatah adalah seorang Yahudi dan kata "Raden" hanya disematkan untuk pemimpin Agama Islam.
"Kata Raden merupakan gelar bagi pemimpin kerajaan dan pemimpin keagamaan. Raden berarti roh-adi-an yang disematkan dalam nama-nama pemimpin. Bukan berarti hanya disematkan untuk pemimpin Islam. Dalam kerajaan-kerajaan Hindu pun memakai gelar raden. Misalnya Raden Wijaya dari Kerajaan Majapahit," ujar Dewi.
FGD tersebut juga turut dihadiri sejumlah akademisi dan tokoh masyarakat lain, seperti Eko Punto, Agustinus Supriyono, Siti Mazizah, Fuad Alhamidi, Ufi Sarasawati, Setyobudi, Danang, Dikbud Provinsi Jateng Joko Nugroho, Takmir Masjid Agung Demak Kiai Abdullah Syiffa, Ketua PDM Demak Suali, PMII Demak Ahmad Habib Afifydin, IPNU Demak Mustaqin, Ketua PMII Yogyakarta Sidik Nur Toha, Sejarawan Demak dan tokoh masyarakat lainnya.
Adapun FGD ini diharapkan dapat meluruskan pernyataan tokoh masyarakat yang menyebut Raden Fatah adalah orang Yahudi.
Diskusi tersebut juga diharapkan bisa dijadikan jalan untuk merekonstruksi kembali ketokohan Raden Fatah sekaligus Sultan Trenggana, bahwa mereka adalah tokoh Islam dan keberadaan mereka nyata dan bukan dongeng.
Baca juga: Peneliti paparkan tiga teori masuknya Islam ke Nusantara
Pewarta: Akhmad Nazaruddin
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019