Jakarta, (ANTARA News) - Indonesia akan keluar dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mulai 2009. Meski Indonesia belum secara resmi menyampaikannya ke OPEC, karena mesti menunggu keputusan sidang kabinet, namun tampaknya keputusan pemerintah keluar dari salah satu organisasi elit dunia tersebut telah bulat. Alasan yang dikemukakan pemerintah adalah Indonesia kini sudah tidak lagi murni sebagai negara pengekspor minyak, namun juga pengimpor minyak dan bahan bakar minyak (BBM) dalam jumlah cukup besar atau telah menjadi negara importir netto. Dengan status sebagai negara importir netto maka kepentingan Indonesia sudah berbeda dengan OPEC yang merupakan organisasi negara-negara kaya minyak. Sebagai negara pengimpor minyak, posisi Indonesia menjadi negara yang juga terkena dampak cukup besar akibat kenaikan harga minyak dunia sekarang ini. Indonesia juga kian susah dengan membengkaknya subsidi BBM sebagai akibat kenaikan harga minyak dunia tersebut. Hal yang berbeda dialami negara-negara anggota OPEC yang makin bertambah kaya seiring tingginya harga minyak dunia. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dengan keluar dari OPEC, maka Indonesia juga bisa keluar dari anggapan sebagai negara kaya minyak yang harga BBM-nya mesti murah. Anggapan seperti itulah yang menjadi salah satu kritik pengunjuk rasa dalam aksinya menentang kenaikan harga BBM belakangan ini. Gambaran yang menjelaskan Indonesia tidak lagi tergolong negara kaya minyak bisa terlihat dalam arus minyak mentah dan BBM pada 2007. Pada tahun lalu, dari produksi minyak mentah dan kondensat yang tercatat 348 juta barel, sebanyak 135 juta barel di antaranya diekspor dan sisanya masuk ke kilang dalam negeri. Namun, Indonesia masih mengimpor minyak mentah sebanyak 116 juta barel untuk memenuhi kebutuhan dan diolah di kilang dalam negeri. Lalu, produk BBM sebesar 244 juta barel yang dihasilkan kilang sendiri juga masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga Indonesia mengimpor lagi BBM sebanyak 150 juta barel. Pada 2007 itu, kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 392 juta barel yang digunakan buat transportasi 214 juta barel, rumah tangga 62 juta barel, industri 50 juta barel, dan pembangkit listrik 68 juta barel. Dari arus minyak tersebut terlihat Indonesia hanya mengekspor minyak mentah 135 juta barel, namun mengimpor 116 juta barel minyak mentah dan juga BBM sebanyak 150 juta barel. Ketua Komisi VII DPR Airlangga Hartarto mendukung Indonesia keluar dari OPEC. Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia justru berada di posisi yang dirugikan dengan masuk menjadi anggota OPEC. "OPEC merupakan kartel negara-negara yang menginginkan harga minyak tetap tinggi, sehingga posisi Indonesia yang juga sekaligus pengimpor minyak, malah berdampak negatif," ujarnya. Produksi turun Apalagi, lanjut Airlangga, kondisi tersebut ditambah lagi kecenderungan produksi minyak Indonesia yang terus menurun setelah mencapai dua kali puncak produksi yakni pada tahun 1970-an dan terakhir tahun 1995. Kalau pada 2001, produksi minyak tercatat masih mencapai 490 juta barel, namun 2007 turun menjadi 348 juta barel. Begitu pula dengan volume ekspor minyak yang juga mengalami penurunan. Pada 2001, ekspor masih 240 juta barel, namun 2007 tercatat hanya 135 juta barel. Di sisi lain, perbandingan ekspor dan impor juga terus mengalami penurunan. Tahun 2001, ekspor mencapai 240 juta barel dan impor tercatat 118 juta barel atau perbandingannya mencapai 2,03 kali. Sedang, pada 2007, ekspor 135 juta barel dan impor 116 juta barel atau hanya 1,16 kali. Anggota Komisi VII DPR Alvin Lie juga mendukung rencana pemerintah keluar dari OPEC. Menurut dia, Indonesia terikat kewajiban membayar iuran cukup besar yang dikaitkan dengan volume produksi minyak. Pada 2008 ini, Indonesia harus membayar iuran sebesar dua juta euro. Meski, diakui Alvin, Indonesia juga mendapat keuntungan ketika melakukan lobi dan negosiasi dengan anggota OPEC lainnya. Keuntungan lobi juga disampaikan mantan analis OPEC antara tahun 1994-2002, Abdul Muin. "Keuntungan utama menjadi anggota OPEC adalah Indonesia mendapat jaminan pasokan minyak mentah yang sebagian besar diimpor dari negara anggota OPEC," katanya. Indonesia, lanjutnya, bisa lebih mudah dan sering kali mendapat harga impor lebih rendah dari negara-negara anggota OPEC. Muin yang kini menjabat Wakil Kepala Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) menambahkan, ke depan, OPEC akan semakin diperhitungkan dunia, sehingga Indonesia akan merugi kalau keluar dari organisasi tersebut. "Ke depan, OPEC yang masih memiliki cadangan migas cukup besar akan semakin berpengaruh di dunia," katanya. Jembatan Namun, menurut Gubernur OPEC untuk Indonesia Maizar Rahman mengatakan, Indonesia dapat melanjutkan hubungan, baik secara bilateral maupun multilateral, dengan negara anggota OPEC, sehingga keuntungan diplomasi dan pengamanan impor minyak mentah tetap terjaga. Indonesia, lanjutnya, masih bisa menawarkan bantuan ke OPEC dalam menstabilkan pasar minyak dunia yakni sebagai jembatan antara kepentingan produsen dan konsumen minyak khususnya negara berkembang. "Dengan keluar OPEC, maka pemerintah juga bisa lebih berperan memberikan pemahaman kepada masyarakat agar lebih efisien, karena Indonesia sudah tidak lagi sebagai negara kaya minyak," katanya. Hal yang sama dikatakan Dirut PT Pertamina (Persero) Ari Soemarno. Menurut dia, Indonesia bisa memanfaatkan forum lobi sebagai negara Islam guna melanjutkan hubungan baik dengan negara anggota OPEC. Bagi Pertamina, lanjutnya, status keanggotaan OPEC juga tidak terlalu berpengaruh kepada BUMN tersebut. Sebab, selama ini, Pertamina tetap harus memakai mekanisme pasar dalam transaksi minyaknya. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan, Indonesia bisa saja menjadi anggota OPEC kembali, apabila produksi minyak meningkat dan konsumsi BBM bisa dikendalikan. Ia mencontohkan, Ekuador yang keluar OPEC sewaktu menjadi negara pengimpor netto, namun masuk lagi setelah mampu berproduksi secara maksimal. "Kita berharap pada Blok Cepu yang produksi puncaknya bisa mencapai 160.000 dan penemuan baru lainnya," katanya. Memang sah-sah saja jika pemerintah menyatakan akan masuk kembali menjadi anggota OPEC. Namun, pastinya kini Indonesia bukanlah negara kaya minyak lagi, mengingat produksinya yang terus menurun, sehingga diperlukan upaya pengendalian baik melalui pembatasan konsumsi BBM maupun pengalihannya ke sumber energi selain minyak.(*)
Oleh Oleh Kelik Dewanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008