Pengobatan ablasi cukup nyaman, hanya diminumkan. Berbeda dengan kemoterapi yang harus melalui infus sampai rambut pasien rontok.

Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia (PKNI) Eko Purnomo mengatakan pelayanan diagnostik dan terapi kedokteran nuklir jauh hemat biaya dibandingkan metode pengobatan konvensional.

Eko Purnomo saat jumpa pers di sela Indonesia Nuclear Expo (Nexpo) 2019 di Yogyakarta, Jumat, menyebutkan metode pengobatan kedokteran nuklir selain murah dan nyaman bagi pasien juga mampu menekan pengeluaran BPJS Kesehatan.

"Metode pemeriksaan dan pelayanan pengobatan di kedokteran nuklir sangat murah. Ini bisa menghemat program pemerintah melalui BPJS Kesehatan," kata Eko.

Dia menyebutkan pengobatan atau terapi penyakit kanker ganas tiroid dengan metode konvensional seperti kemoterapi bisa menghabiskan biaya hingga ratusan juta rupiah. Biaya itu jauh di terapi kedokteran nuklir melalui metode ablasi yang hanya membutuhkan biaya sekitar Rp9 jutaan dengan tarif BPJS Kesehatan.

"Dulu sebelum ada pengobatan nuklir, pasien (kanker tiroid) setelah dioperasi oleh dokter bedah, biasanya didiamkan kalau tumbuh (kanker) lagi maka dioperasi lagi. Di kedokteran nuklir ada metode ablasi, pasien tidak usah berulang-ulang operasi cukup dibersihkan di kedokteran nuklir sisa-sisa kankernya," kata dia.

Baca juga: Pemanfaatan teknologi kesehatan berbasis nuklir masih tertinggal

Baca juga: PT Inuki jajaki industri kedokteran nuklir, gandeng BUMN dan swasta

Selain murah, menurut Eko, metode pengobatan kedokteran nuklir juga lebih nyaman bagi pasien. Tingkat keamanannya juga tidak perlu diragukan oleh masyarakat. "Pengobatan ablasi cukup nyaman, hanya diminumkan. Berbeda dengan kemoterapi yang harus melalui infus sampai rambut pasien rontok," kata dia.

Spesialis Kedokteran Nuklir, Johan S Mansyur mengakui kendati biayanya murah, diagnostik dan terapi kedokteran nuklir masih menghadapi hambatan, yakni persepsi masyarakat mengenai istilah kedokteran nuklir yang dipandang sebagai momok yang menakutkan.

"Pasien kalau mendengar istilah kedokteran nuklir takut. Tetapi kalau pergi ke radiologi X-ray (merasa) tidak masalah," kata Johan.

Padahal, Johan mengatakan radiasi yang digunakan dalam diagnosis kedokteran nuklir justru lebih rendah dibandingkan dengan radiologi X-ray.

"Jadi banyak yang salah paham. Kita tidak mengobati kecelakaan nuklir, kita tidak mengobati yang kena bom atom. Bahkan kita mengobati pasien dengan dosis radiasi yang lebih kecil," kata Johan.*

Baca juga: RDIF bermitra kembangkan pusat kedokteran nuklir di Malaysia

Baca juga: Menkes resmikan instalasi kedokteran nuklir RSUD AWS Samarinda

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019