sejumlah menteri ekonomi di ASEAN begitu tertarik dengan proses pemindahan ibu kota dan imbasnya terhadap perekonomian IndonesiaBangkok (ANTARA) - Proses pemindahan ibu kota Indonesia dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur sempat menjadi perhatian para delegasi Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers Meeting/AEM) ke-51 di Bangkok, Thailand.
Hal itu terjadi saat pertemuan makan malam, Kamis (5/9), menjelang pembukaan AEM ke-51 di Bangkok, Jumat pagi waktu setempat.
Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita yang memimpin delegasi Indonesia dalam pertemuan tersebut mengatakan sejumlah menteri ekonomi di ASEAN begitu tertarik dengan proses pemindahan ibu kota dan imbasnya terhadap perekonomian Indonesia.
Kondisi itu juga tidak lepas dari posisi Indonesia sebagai negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah populasi penduduk terbanyak hingga 264 juta penduduk. PDB Indonesia hampir mencapai setengah dari total PDB 10 negara ASEAN atau 35 persen dari total PDB kawasan yang sebesar 2,8 dolar AS, berdasarkan data ASEAN di 2018.
"Mereka terkaget-kaget karena dalam proses pemindahan ibu kota, akan ada sekitar 1,5 juta pegawai pemerintahan yang akan pindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Jumlah itu hampir menyamai jumlah penduduk salah satu negara di ASEAN," ujar Enggar, sapaan akrab Enggartiasto.
Negara-negara di ASEAN juga berharap pertemuan pejabat tinggi di kawasan ke depannya bisa dapat lebih banyak diselenggarakan di Jakarta, mengingat Sekretariat ASEAN baru saja meresmikan gedung barunya.
Hal itu, kata Enggar, akan turut memacu perekonomian Tanah Air dengan semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dan nilai konsumsi yang dihasilkan.
"Ketika mereka datang, itu sama saja kita mendatangkan turis-turis dengan potensi wisata yang tinggi. Dan (pertemuan) itu akan rutin," ujarnya.
Seperti diketahui, Indonesia sudah memutuskan akan memindahkan ibu kotanya dari DKI Jakarta ke Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pemindahan itu paling lambat dilakukan pada 2024.
Adapun dalam pertemuan makan malam itu, kata Enggar, sebanyak 10 pejabat tinggi negara ASEAN menyepakati untuk memperkuat soliditas negara-negara di kawasan, terutama untuk menghadapi ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan ketegangan perdagangan negara-negara secara bilateral di luar kawasan.
Enggar mengatakan ASEAN tidak akan terpengaruh dalam konflik politis bilateral antara negara-negara yang masih bersengketa seperti perselisihan AS dan China ataupun Jepang dan Korea Selatan. Bahkan, ASEAN sepakat untuk berupaya menjadi negara penengah, sembari tetap memprioritaskan kepentingan ASEAN.
"Ada kebanggaan mengenai soliditas ASEAN, apalagi dibandingkan kawasan lain yang suasananya penuh juga ketidakpastian seperti Uni Eropa dengan isu Brexit," ujar Enggar.
Indonesia, kata Enggar, akan lebih mendorong penyelesaian janji-janji dan proses kesepakatan sebelumnya. Misalnya, proses penyelesaian naskah perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang sudah beberapa tahun masih belum terselesaikan.
Padahal RCEP sangat dinantikan untuk menjadi perjanjian regional yang sangat bermanfaat bagi negara-negara ASEAN terutama untuk mereduksi imbas negatif dari perlambatan nilai perdagangan dan investasi di ekonomi global. Enggar meyakini RCEP bisa disepakati negara-negara kawasan paling lambat November 2019.
RCEP diajukan pada 2011 oleh 10 negara anggota ASEAN dan enam negara mitra yakni China, Jepang, India, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru. Skema perjanjian ini bisa dikatakan wadah multilateral yang dinanti-nanti oleh ASEAN karena sangat merefleksikan dan ideal dengan kepentingan kawasan.
Baca juga: Indonesia bahas RCEP pada pertemuan menteri ASEAN di Singapura
Baca juga: Mendag: perkuat peran ASEAN hadapi tantangan global
Baca juga: ASEAN harus pimpin arsitektur regional
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019