Jakarta (ANTARA News) - Departemen Perhubungan (Dephub) akan menelorkan kebijakan progresif angkutan jalan untuk menggusur 500 ribu angkutan kota (angkot)/mikrolet di Indonesia."Angkot saat ini, khususnya di kota-kota besar sudah berlebih (over supply). Kota julukan sejuta angkot tak hanya Bogor tapi sudah diikuti oleh kota-kota lainnya," kata Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan, Elly Sinaga kepada pers di Jakarta, Jumat.Kondisi itu, kata Elly, memposisikan angkot sebagai salah satu sumber kemacetan lalu lintas tak terkendali. "Ini harus dicegah dan direformasi," katanya.Boros BBMSelain itu, ditinjau dari sisi pemanfaatan Bahan Bakar Minyak (BBM), angkot sudah sangat boros karena tingkat isian penumpangnya rata-rata juga tak lebih dari 20-25 persen.Jarak antar kendaraan keberangkatan angkot di sejumlah daerah ditemui sudah mencapai setiap empat detik. "Akibatnya mereka hanya berputar-putar dan hasilnya polusi meningkat. Sementara bagi pengemudinya, pendapatannya juga menurun. Penumpang pun juga makin tak nyaman," katanya. Karena itu, tidak salah kalau kenyamanan Angkutan Umum saat ini sudah tidak jelas dan ini antara lain yang menyebabkan penumpang pindah ke moda lain, seperti sepeda motor. "Sepeda motor dari sisi penghematan memang oke, tetapi tingkat keselamatannya sangat rendah. 30 ribu korban meninggal kecelakaan lalu lintas jalan di Indonesia per tahun saat ini, 65 persen melibatkan sepeda motor," katanya. Oleh karena itu, Dephub c.q. Ditjen Perhubungan Darat secara bertahap akan mereposisi manajemen angkutan umum perkotaan secara bertahap dari pola angkot/mikrolet menjadi angkutan massal lebih besar seperti bus."Namun, untuk kota-kota kecil dengan populasi penduduknya di bawah 500 ribu, angkot dan mikrolet ini, mungkin masih layak dipertahankan," katanya. Elly menyebut, sebenarnya berdasarkan KM 35/2003 tentang ciri-ciri pelayanan angkutan kota disebutkan untuk trayek utama di kota sedang dan besar dilarang adanya angkot. "Tapi, yang terjadi hal itu tak dipatuhi. Ijin trayek angkot malah tak terkendali. Tak sesuai suplai dan demand. Ini mestinya direnungkan oleh Dinas Perhubungan. Jangan ijin trayek diserahkan ke dealer-dealer," katanya.Sistem kepemilikan dari individu ke Badan PengelolaElly melanjutkan, pola angkutan massal yang dimaksud, nantinya secara bertahap akan merubah sistem kepemilikan dari individu ke Badan Pengelola. "Jadi, sistemnya pemerintah membeli service mereka," katanya. Konsep sederhananya, pemerintah membeli kepada Badan Pengelola biaya per kilometer per penumpang. "Metode pembayaran penumpang dengan kartu pintar, bukan ke sopir lagi," katanya. Untuk itu, lanjutnya, nantinya para pemilik angkot bisa bersinergi untuk menanamkan investasi di Badan Pengelola menjadi salah satu mitra operator. Kendaraan tersebut juga hanya berhenti di shelter-shelter yang disediakan. "Pengemudi digaji sesuai kapasitas profesinya, tidak lagi jadi sasaran pungutan liar," katanya. Elly mengakui, konsep tersebut mirip dengan Busway yang dikembangkan DKI Jakarta. Tahun ini, Dephub akan mengembangkan konsep tersebut di lima kota besar yakni Semarang, Pekanbaru, Balikpapan, Surakarta dan Menado. "Trayeknya pada beberapa kota itu berpeluang dikembangkan secara terpadu, misalnya dari Tangerang hingga Jakarta," katanya. Hemat 40 persen Dari sisi penghematan BBM, kata Elly, jika menggunakan bus sedang dan besar (angkutan massal, red), maka akan ada potensi penghematan pemakaian BBM hingga 40-50 persen. Padahal, proporsi sektor transportasi, kata Elly, saat ini mengkonsumsi BBM paling besar, yakni sekitar 47,5 persen dari total konsumsi nasional, baru setelah itu industri (21,9%), listrik (11,1%) dan rumah tangga (19,1%). "Transportasi non-Darat hanya 0,5 persen," katanya. Sedangkan di sektor transportasi sendiri, konsumsi terbesar untuk angkutan jalan sebesar 88 persen. Lainnya yakni, udara (4 persen), angkutan laut (7 persen) dan angkutan Kereta Api dan Sungai Danau dan Penyeberangan sebesar satu persen. "Jadi, bisa dibayangkan, jika angkutan jalan dihemat 40-50 persen, kontribusinya signifikan," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008