Jakarta (ANTARA News) - Kelanjutan pengadaan Helikopter Super Puma TNI Angkatan Udara dari PT Dirgantara Indonesia (DI) terancam terhenti, akibat ketiadaan dana. "Pengadaan lanjutan 16 heli Super Puma kini nyaris terhenti karena tak adanya anggaran," kata Direktur Utama PT DI, Budi Santoso, menjawab ANTARA, di sela-sela acara penyerahan pesawat CN-235-220 MPA di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat. Budi Santoso mengemukakan, dari 16 unit Super Puma yang dipesan TNI AU, baru selesai sembilan unit. Tiga unit lanjutan sedang dalam proses, kerangka pesawat sudah siap, tetapi tidak bisa diteruskan pengadaannya. "Empat lainnya belum kami kerjakan. Semua terhenti karena tidak ada dukungan dana," ujar Budi. Sementera itu Dirjen Sarana Pertahanan (Ranahan) Departemen Pertahanan (Dephan), Marsekal Muda TNI Eris Herryanto, mengatakan pihaknya akan melihat kembali pengadaan helikopter tersebut. "Seharusnya, kalau sudah disepakati melalui kontrak kerja bersama mestinya sudah termasuk alokasi angggaran untuk seluruh unit pengadaan," katanya. Markas Besar (Mabes) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) melakukan pemesanan 16 Helikopter Super Puma NAS 332 beserta suku cadangnya dari PT DI berdasar kontrak jual beli (KJB) 010 tahun 1998. Dari sembilan unit helikopter telah selesai dan difungsikan sebagai kendaraan taktis (tactical transport). Namun, karena kurangnya dana, maka pengadaan tujuh lainnya terhenti, terlebih pembiayaan yang digunakan bagi penyelesaian sembilan unit sebelumnya belum dilunasi oleh Dephan. Dari tujuh unit tersebut, rencananya empat unit Super Pumma akan difungsikan untuk keperluan "Combat SAR". Saat ini TNI AU memiliki empat unit Super Pumma dengan rata-rata kesiapan di bawah 50 persen. Berdasar Rencana Kebutuhan alutsista dan pendukung TNI AU 2005-2014, maka Mabes TNI berencana meningkatkan kekuatan skuadron helikopter dari saat ini tiga skuadron menjadi lima skuadron atau 60 pesawat. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008