Peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan secara progresif mengatur tentang aborsi dan kondisi yang memperbolehkan aborsi dilakukan.
Baca juga: Polda Jatim bongkar praktik aborsi ilegal di Surabaya-Sidoarjo
Baca juga: IPAS Indonesia: aborsi legal di Indonesia tetapi terbatas
Baca juga: Fenomena gunung es aborsi
Baca juga: POGI: dokter kandungan tunggu pemerintah soal praktik aborsi aman
Di antaranya apabila pada kehamilan terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis korban perkosaan.
"Dalam Pasal 77 UU Kesehatan juga telah dinyatakan bahwa Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab," kata Maidina.
UU Kesehatan juga telah mengatur ketentuan pidana aborsi yang dilakukan di luar pengecualian yang diatur.
ICJR dan PKBI mengkritisi masuknya pasal-pasal aborsi dalam RKUHP selain hanya menyalin konsep KUHP sekarang, padahal UU Kesehatan saat ini merupakan salah satu momentum kunci pengaturan tentang aborsi di Indonesia.
"Aspek kesehatan merupakan pertimbangan pertama terkait dengan praktik aborsi. Aborsi boleh dilakukan dengan pengecualian, dan UU Kesehatan juga mengatur pemidanaannya," ucap Maidina.
Pasal dalam RKUHP pun dinilai diskriminatif terhadap korban perkosaan karena memuat setiap perempuan yang mengugurkan kandungan dapat dipidana, sedangkan tidak untuk dokter yang melakukan penguguran kandungan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019