Banjarmasin (ANTARA News) - Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan (Kalsel), Suhardi Atmorejo, mengungkapkan bahwa dari 15 perusahaan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH ) yang sebelumnya beroperasi di wilayah kerjanya, kini tinggal satu HPH yang berproduksi lantaran lainnya bangkrut. Banyaknya HPH yang gulung tikar tersebut, menurut dia, di Banjarmasin, Rabu, terkait dari pembatasan jatah tebang untuk Kalsel yang terus berkurang dari tahun ke tahun. "Sebenarnya, masih ada tiga perusahaan HPH yang beroperasi di Kalsel, tetapi hanya satu HPH yang masih berproduksi, yaitu PT Ayayang di Kabupaten Tabalong," katanya. Sementara itu, ia mengemukakan, ada dua HPH lainnya, PT Inhutani II dan Kodeco, kendati masih beroperasi, namun kegiatannya tinggal melakukan rehabilitasi hutan dan pembinaan, atau dengan kata lain sudah tidak berproduksi. Alasan kedua perusahaan tersebut tidak berproduksi, menurut dia, karena sesuai perhitungan mereka masing-masing, tidak akan sesuai antara nilai investasi dan luasan lahan yang diberikan untuk melakukan produksi. Mulai 2005, jatah tebang untuk hutan alam di Kalsel hanya diberikan sekitar 65 ribu meter kubik atau jauh menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, yang tidak kurang dari 700.000 meter kubik. Jatah tebang tersebut, terus menurun menjadi hanya 50 ribu meter kubik pada tahun 2007 maupun 2008, sehingga jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan industri di Kalsel. "Sebenarnya potensi hutan alam di Kalsel masih lebih banyak dan bisa dikembangkan dari jatah tebang yang diberikan, tetapi dengan kondisi alam yang ada saat ini lebih baik kalau tidak dilakukan penebangan secara berlebihan," ujarnya. Berbeda dengan Kalimantan Tengah (Kalteng) yang hingga kini jatah tebangnya masih mencapai 850.000 meter kubik dan Kalimantan Timur (Kaltim) lebih dari satu juta meter kubik. "Sehingga, sebagian besar industri kayu di Kalsel yang kini masih bertahan, justru memiliki HPH di Kalteng maupun di Kaltim," katanya. Satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan industri di Kalsel hanya dengan mengembangkan hutan tanaman industri (HTI) yang kini potensinya masih cukup besar di Kalsel. Diungkapkannya, seiring dengan melonjaknya harga kayu dunia, tata niaga kayu kini sudah banyak berubah dan diatur lebih tertib dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. "Kalau dulu kayu dan jatah tebangnya besar, tapi banyak pengusaha yang kebingungan untuk menjual, tapi kini justru sebaliknya, bahan bakunya tidak ada, permintaan pasar besar," demikian Suhardi. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008