Semua varietas yang ditanam telah ditentukan, bukan hanya rasa tetapi juga kemudahan dalam menanam di iklim tropis atau di salah satu ruangan penanaman khusus dengan iklim terkontrol menjadi pertimbangan.
Singapura (ANTARA) - Siapa yang tidak tahu Singapura, sebuah negara kecil yang modern dan menjadi pusat bisnis global di Asia Tenggara.
Namun Singapura adalah negara kecil dengan sumber daya alam yang terbatas, dengan luas 721 kilometer per segi dan jumlah penduduk 5,6 juta jiwa.
Dengan lahan yang sedikit lebih luas dari Jakarta, mungkin orang akan heran bagaimana negara dengan ikon kepala singa itu bisa begitu maju dibandingkan negara lainnya di kawasan yang sama.
Jadi pertanyaan, bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan pangan warganya dengan minimnya lahan yang bisa ditanami?
Hingga 2013 hanya tersisa 700 hektare atau satu persen dari lahan di Singapura yang berproduksi.
Maka tidak heran hampir 90 persen kebutuhan pangan mereka diimpor dari sejumlah negara termasuk Indonesia mulai dari daging, ayam, babi, ikan, buah, minyak goreng hingga sayuran.
Berdasarkan data Pemerintah Singapura pada 2015, mereka mengimpor 13 persen sayuran, 24 persen telur dan 10 persen ikan dari sejumlah negara.
Di samping itu, data di tahun yang sama juga mencatat bahwa sisa makanan yang terbuang cukup besar, mencapai 800 ribu ton per tahun atau setara dengan 1.500 kolam renang ukuran olimpiade.
Jadi bagaimana mereka bisa mandiri dan tidak tergantung terhadap pangan impor khususnya sayur segar dan buah dengan kondisi kekurangan lahan menjadi sebuah tantangan.
Kondisi inilah yang mendorong sejumlah masyarakat untuk mencari terobosan agar tidak tergantung sepenuhnya dengan produk impor.
Salah satunya terobosan yang dilakukan masyarakat yang tergabung dalam Edible Garden City (EGC), mereka menanam sayur dan buah yang dimakan sendiri dengan cara memanfaatkan atap gedung (rooftop) sebagai lahan bercocok tanam.
Baca juga: DKI Jakarta tambah 500 kader pertanian kota
Baca juga: "Urban Farming" solusi ketahanan pangan di Surabaya
Kebun di atap gedung
Edible Garden City mengelola Urban Farm yang menyulap atap Funan Mal menjadi kebun sayuran dan buah. Terobosan ini menjadi langkah besar bagi pertanian di Singapura yang tanpa lahan dan di tengah perkotaan.
"Sebagai negara kecil dengan lahan terbatas, tidak memungkinan kami untuk menanam dengan cara tradisional," kata salah seorang pendiri dan Direktur Utama Edible Garden City Bjorn Low.
Bjorn dan koleganya sudah menggalakkan program yang sama di sejumlah titik. Mulai dari Marina Bay Sands, Resort World Sentosa, Raffles City Rooftop, Fairmont Hotel, Six Senses, hingga di Funan Mal.
Funan Mal, tampak lebih modern setelah direnovasi dan dibuka kembali pada 28 Juni 2019. Di atap gedung seluas 5.000 kaki persegi terlihat menghijau dengan beragam sayuran dan buah.
Di Urban Farm, mereka menanam berbagai jenis sayuran, buah, bunga, rempah-rempah, tanaman herbal hingga jamur.
Ketika ANTARA diajak berkeliling ke Funan Urban Farm, dari tangga menuju ke atap, langsung terlihat pohon pisang berjajar rapi di samping beberapa pohon pepaya yang sedang berbuah. Di bagian dalamnya, cabai rawit merah tumbuh subur.
Di bagian lain, tersusun bayam jepang yang berdaun runcing berwarna kemerahan. Di sisi lain, ditanam pohon buah naga.
Di ruang tertutup yang dilapisi kaca layaknya jendela, terlihat jamur di media tanam tersendiri dan di bagian tertutup lainnya, berjejer rapi pot-pot tanaman rempah serta bunga yang bisa dimakan.
Semua varietas yang ditanam telah ditentukan, bukan hanya rasa tetapi juga kemudahan dalam menanam di iklim tropis atau di salah satu ruangan penanaman khusus dengan iklim terkontrol menjadi pertimbangan.
Lebih dari 50 jenis tanaman yang ditumbuh di Funan Urban Farm, mulai dari lemon, serai, mint, pandan, jahe, kunyit, buah naga, markisa, okra dan kembang telang.
Beberapa tanaman asli Singapura, atau tanaman peninggalan sejarah yang hampir terlupakan, seperti ulam raja juga ditanam disana.
Tentunya semua tanaman bebas pestisida sehingga terjamin kesegaran dan lebih sehat tentunya.
Menurut Bjorn Low, terobosan ini sejalan dengan target Pemerintah Singapura untuk menghasilkan 30 persen makanan nasional secara lokal pada 2030 atau dikenal dengan tujuan "30 per 30".
Sayuran segar
Sebagian besar hasil panen Urban Farm dipasok langsung ke restoran di dalam mal. Salah satunya adalah Noka, sebuah restoran Jepang yang hanya beberapa langkah dari Urban Farm by Edible Garden City.
Sudah mendapatkan makanan segar yang sehat, dengan konsep farm to table yang terbaik, pengunjung restoran juga bisa menikmati makan malam mereka sambil dimanjakan pemandangan hijau yang menyejukkan mata.
Urban Farm adalah salah satu dari sedikit pertanian urban di Singapura yang dibuka untuk umum, dan pertanian urban pertama yang dirancang menjadi pusat perbelanjaan Singapura sejak awal.
Selain di Funan Mal, Edible Garden City juga mengelola pertanian atap seluas 10.000 meter persegi di rooftop Pusat Perbelanjaan Raflles City.
Mereka menghasilkan bunga yang dapat dimakan seperti bunga telang, rempah-rempah seperti kemangi dan buah-buahan seperti markisa, pepaya dan jewish plum.
Chris, salah seorang pengelola Urban Farm yang mengajak ANTARA berkeliling mengatakan EGC tidak hanya menanam, tapi juga mengajak masyarakat lebih mengenal makanan yang mereka makan.
Karena konsepnya yang terbuka, Edible Garden City juga mendorong pembeli untuk menjelajahi ruang perkebunan untuk mempelajari lebih lanjut tentang bunga yang dapat dimakan, microgreens, dan akuakultur, melalui papan tanda dan informasi yang disediakan.
Di setiap bagian lahan kebun diberi keterangan mengenai nama sayur atau buah yang ditanam dalam bahasa Inggris dan Latin.
Hal ini sejalan dengan visi EGC yaitu selain memenuhi kebutuhan pangan nasional juga memberikan edukasi kepada masyarakat.*
Baca juga: Ayo berkebun hidroponik di Gedung Sate
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019