Lukaku diteriaki oleh penggemar Cagliari dengan nyanyian meniru suara kera saat akan mengeksekusi penalti pada pertandingan itu, yang kemudian berakhir dengan kemenangan Inter dengan skor 2-1 pada Minggu.
"Cagliari sama sekali bukan kota yang rasis. Saya meminta maaf untuk citra kami ini yang telah menyebar luas. Saya harap kami tidak diskors," ujar Giulini kepada Radio Popolare.
Meski untuk kesekian kalinya penggemar Cagliari membuat ulah terkait rasisme, Giulini berpendapat bahwa menutup tribun kurva, bagian stadion yang secara tradisional merupakan tempat berkumpul para penggemar garis keras, bukan merupakan solusi.
Ia berpendapat bahwa saat ini hal yang dapat dilakukan adalah mendidik para petugas di stadion untuk dapat mengenali para pelaku tindakan rasis, dan kemudian melarang mereka memasuki stadion.
"Memerangi kebodohan merupakan hal yang sulit, maka yang dapat kami lakukan hanyalah meningkatkan kesadaran. Insiden ini menimbulkan kemarahan dan rasa frustrasi yang besar untuk semua inisiatif yang telah kami lakukan," tambahnya.
Baca juga: FGIC akan investigasi kasus rasialisme terhadap Lukaku
Pada kesempatan sebelumnya, penggemar Cagliari telah terlibat dalam nyanyian-nyanyian rasis. Mereka melakukannya terhadap pemain Pescara Sulley Muntari (2017), gelandang Juventus Blaise Matuidi (2018), dan mantan penyerang Juve Moise Kean (2019).
Terkait Lukaku, para penggemar garis keras Inter justru merasa sikap rasis terhadap Lukaku dari para penggemar Cagliari merupakan "bentuk rasa menghormati."
Salah satu alumni Liga Italia, Marco Verratti, yang kini membela Paris St Germain (PSG) berpendapat bahwa pertandingan harus dihentikan seandainya terjadi pelecehan rasial.
"Anda harus menghentikan pertandingan (seandainya terjadi pelecehan rasial), kalau tidak kita tidak akan beranjak ke mana-mana," tutur pemain internasional Italia itu kepada Rai Sport.
"Saya tahu itu akan menjadi langkah besar, namun kita harus melakukannya sebab jika tidak empat-lima orang bodoh akan selalu ada di sana."
Pewarta: A Rauf Andar Adipati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2019