Jakarta (ANTARA News) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan negara masih rendah. Ketika menyampaikan hasil laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2007 di DPR, Selasa, Ketua BPK Anwar Nasution, mengatakan pernyatan tersebut didasarkan pada kembalinya BPK memberi opini tidak memberikan pendapat (disclaimer) atas laporan keuangan pemerintah pusat 2007 atau empat tahun berturut-turut.Ini mengindikasikan masih rendahnya transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan negara, katanya. Menurut Anwar, ada tujuh alasan pokok BPK yang telah memberi opini disclaimer selama ini. Ketujuh alasan tersebut adalah keterbatasan akses BPK atas informasi, penerimaan dan piutang pajak serta biaya perkara MA, kelemahan sistem akuntasi dan pelaporan Negara, belum adanya "single treasury account" serta belum selesainya inventarisasi aset maupun utang dan piutang negara. Selain itu belum terintegrasinya sistem teknologi informasi (TI) negara, kelemahan sistem pengendalian internal pemerintah, dan tidak kepatuhan aturan perundangan. "Oleh karena itu, BPK tidak dapat memberikan opini tentang risiko fiskal pemerintah atau kemampuannya membiayai kegiatan pokoknya dan melunasi kewajiban utangnya," kata Anwar. Ia juga mengungkapkan, kualitas laporan kementerian (lembaga negara/KL) dan daerah justru menunjukkan tendensi yang memburuk dari tahun ke tahun. "Laporan keuangan KL yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) baru terbatas pada KL yang organisasinya berskala kecil atau yang baru dibentuk," katanya. Menurut Anwar, ada tiga kelemahan yang menonjol pada pengelolaan anggaran di tingkat KL, yakni adanya pendapatan negara dan hibah yang berada di luar APBN pada 15 KL, ada belanja negara yang berada di luar APBN di 16 KL, serta kurang tertibnya iventarisasi dan penilaian aset tetap yang terjadi pada 58 KL. Terkait dengan sistem pengendalian intern keuangan, BPK melaporkan adanya beberapa kelemahan seperti, belum terintegrasinya sistem aplikasi dan TI keuangan negara dalam penyusunan LKPP, penerimaan Migas yang tidak transparan dan tidak disetor langsung ke kas negara, tren catatan dan pelaporan belanja negara untuk kegiatan akhir tahun yang tidak didukung bukti yang valid, masih adanya rekening yang belum ditertibkan serta perbedaan saldo sisa anggaran lebih (SAL) dengan saldo fisik uang. Dicontohkan, penerimaan pajak secara bruto yang dilaporkan dalam sistem akuntansi umum Departemen Keuangan adalah senilai Rp752,58 triliun, sedangkan dalam sistem akuntansi kas umum negara (SAKUN) hanya dilaporkan senilai Rp527,56 triliun, sehingga ada perbedaan Rp225,02 triliun. Sementara itu, anggota DPR dari Komisi XI Drajad Wibowo meminta penegasan BPK untuk melaporkan temuan-temuan tersebut kepada KPK, karena dianggap berbau korupsi. "Banyak hal yang berindikasi korupsi, seperti penerimaan migas yang tidak transparan dan tidak disetor ke negara. Adalah ironis ketika rakyat dibebani harga BBM yang mencekik, ternyata penerimaan migas tidak transparan," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2008