Pasal multitafsir tersebut misalnya adanya pembatasan kamera televisi yang melakukan siaran langsung di ruangan pengadilan.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi mengatakan RUU KUHP yang akan disetujui DPR RI menjadi undang-undang diupayakan tidak ada "pasal karet" sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.
"Upaya tersebut dilakukan dengan memberikan penjelasan pada pasal-pasal yang dapat menimbulkan multitafsir," kata Taufiqulhadi pada diskusi "RUU KUHP Kebiri Kebebasan Pers" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Taufiqulhadi, pasal multitafsir tersebut misalnya adanya pembatasan kamera televisi yang melakukan siaran langsung di ruangan pengadilan.
"Pembatasan kamera televisi yang melakukan siaran langsung tersebut, guna memberikan penghargaan kepada majelis hakim yakni tetap ada privasi untuk majelis hakim," katanya.
Baca juga: Komnas HAM keberatan tindak pidana khusus masuk RKUHP
Baca juga: Pasal penghinaan presiden muncul lagi di RKUHP dipertanyakan
Baca juga: Komisi III optimistis RUU KUHP selesai pada periode 2014 sampai 2019
Kemudian, pasal yang terkait dengan praktik asusila, menurut Taufiq, juga mempertimbangkan hukum adat dan pendekatan agama. Politisi Partai Nasdem ini mencontohkan, kasus hubungan asusila sesama jenis (LGBT) maupun kasus asulisa dengan lawan jenis, jika dilakukan di depan umum akan dikenai sanksi pidana.
"Jadi, bukan hubungan asusila sesama jenis saja yang dapat dikenai sanksi pidana, hubungan asusila dengan lawan jenis juga dapat dikenai sanksi, jika dilakukan di depan umum," katanya.
Sementara itu, pengamat hukum dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Ficar Hadjar, jika DPR RI dapat menyelesaikan pembahasan dan menyetujui RUU KUHP yang merupakan revisi dari UU KUHP menjadi undang-undang baru, maka Indonesia memiliki induk undang-undang bidang hukum sendiri yang didasarkan pada kondisi aktual bangsa Indonesia.
Abdul Ficar mengkhawatirkan adanya sejumlah pasal karet terkait dengan kepentingan Pemerintah dalam RUU KUHP yang akan disetujui DPR RI menjadi undang-undang.
Pengajar pada Fakultas Hukum di Universitas Trisakti Jakarta ini mencontohkan, pasal mengenai penghinaan terhadap pengadilan. Misalnya, pada persidangan kasus kopi beracun sianida yang disiarkan langsung oleh televisi.
Menurut dia, perlu ada pengaturan agar tidak disiarkan langsung secara keseluruhan, karena pertimbangan saksi-saksi memberatkan dan meringankan yang akan dihadirkan di persiadangan. "Ada saksi yang sedang didegarkan kesaksiannya dan ada saksi yang akan didengarkan kesaksiannya pada persidangan berikutnya. Adanya siaran langsung secara keseluruhan, maka saksi berikutnya adapat mempelajari kesaksian dari saksi yang sebelumnya. Pasal ini akan menjadi pasal kkaret," katanya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019