Oleh Rini UtamiJakarta (ANTARA News) - Alfan Nurcahyo, orangnya tak terlampau tinggi, berkulit sawo matang, dan tubuhnya tidak pula atletis. Namun, suaranya lantang membakar semangat rekan-rekannya untuk terus berdemonstrasi menolak kenaikkan harga bahan bakar minyak. Di atas mobil bak terbuka, sambil menggengam pengeras suara, dengan nada dan semangat membara, tak henti-hentinya ia berorasi. Ia dan rekan-rekannya memprotes kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang mereka nilai sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil. Demonstrasi atau unjuk rasa telah menjadi fenomena klasik bangsa Indonesia. Demonstrasi kian kerap terjadi sejak era reformasi satu dasawarsa lalu. Setelah 32 tahun terbelunggu Orde Baru (Orba), rakyat pun memiliki keberanian menyampaikan pendapat, yang salah satunya melalui demonstrasi, sebagai sebuah prestasi yang mengagumkan dari sebuah proses demokrasi di negeri ini. Namun, unjuk rasa juga dinilai oleh berbagai kalangan sebagai sesuatu yang memprihatinkan. Unjuk rasa tidak lagi merupakan wujud ekspresi sikap, namun telah menjadi komoditas. "Lumayan, Rp50.000 sehari," celetuk salah seorang rekan Alfan.Oleh karena itu, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar, pun langsung bersuara, "Demo menolak kenaikkan harga minyak ada yang menunggangi." Satu hal yang agaknya lebih parahnya lagi, demonstrasi juga kerap diartikan sebagai unjuk kekuatan. Bukan lagi opini yang dikedepankan, namun kekuatan fisik, lempar botol, lempar batu, bahkan bom molotov yang berujung bentrok. Tengok saja, demonstrasi di Universitas Nasional (Unas) di Pasar Minggu, Jakarta, Selatan. Tak hanya benda tajam, yang ditemukan. Botol-botol miras, narkoba pun ikut ditemukan aparat. Belum lagi aksi perusakan dan tindakan destruktif lainnya yang merugikan hak-hak orang lain. Tak heran, jika ada sebagian masyarakat tidak lagi antusias bahkan tidak sepakat dengan penyaluran aspirasi melalui demonstrasi, apalagi yang berujung anarki. Sangat disayangkan, mengingat atmosfer demokrasi dan keterbukaan sedang menaungi dinamika kehidupan politik di Indonesia. Suasana tersebut seharusnya dapat mendorong partisipasi masyarakat sipil yang lebih berperan dalam kehidupan bernegara. "Masyarakat sipil, seharusnya makin memberdayakan diri untuk lebih berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saatnya kini sipil menunjukkan diri, mampu memimpin bangsa ini," kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Dalam kacamata demokrasi, maka aktivitas unjuk rasa merupakan arena debat publik warga yang secara nyata menyatakan perannya dan berpartisipasi dalam komunitas kehidupan bernegara. Namun, warga pun sulit memungkiri bahwa unjuk rasa kini belum benar-benar mengakar sebagai wujud artikulasi kepentingan mereka. Pasalnya, mereka bisa meyaksikan bahwa aksi unjukrasa masih didominasi artikulasi kepentingan pihak tertentu, kepentingan pemain-pemain politik papan atas. "Demo penolakan kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)ditunggangi mantan menteri, dan sebagian politisi," begitu Kepala BIN mengungkapkan. Belum lagi, ancaman kekekarasan serta bayang-bayang tindakan brutal dan anarki. Itulah sisi lain demonstrasi. Tidak ada lagi harga menghargai untuk sebuah perbedaan, kecuali upaya pemaksaan. Kebebasan berekspresi memang bukan satu-satunya indikator tewujudnya sebuah demokrasi. Sebagai sebuah model pembangunan politik, demokrasi dapat dilihat dari adanya kedaulatan rakyat, persamaan dan pengawasan baik secara aspek individu, maupun kelembagaan. Namun, berbagai upaya pendemokrasian masih belum semanis dengan apa yang dibayangkan. Demokrasi meski telah sepuluh tahun dijalankan pemerintah, masih belum menyentuh penerapan nilai dalam kehidupan masyarakat. Bagaikan pertandingan bola tanpa wasit, kedua pihak merasa bebas, sesuka hati memperebutkan bola. Tak peduli berapa korban yang ditimbulkan akibat pertandingan tanpa aturan itu. Di kalangan masyarakat, demokrasi acap kali dipandang sebagai tindakan sesuka hati, tak jadi soal ada hak-hak orang lain yang terlanggar. Jika seperti itu fenomenanya, maka sejumlah kalangan agaknya bakal sulit mendapat jawaban atas pertanyaan umum mereka bahwa akankah demokrasi yang sehat bakal benar-benar hadir di negeri ini?(*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008