Yogyakarta (ANTARA News) - Bintang film era-1990, Nurul Arifin, merasa prihatin dengan banyaknya tayangan bertemakan kekerasan, mistik dan komedi seks yang "wara-wiri" menghiasi televisi.
"Semua tayangan itu mendewakan rating dan apakah betul jumlah penonton yang disebut dalam rating memang sebanyak yang diklaim karena tidak ada lembaga rating saingan," kata Nurul di Yogyakarta, kemarin.
Artis kelahiran Bandung yang kini juga berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nasional itu juga menyesalkan tidak adanya larangan atas tayangan televisi seperti itu.
"Semua masih diserahkan kepada mekanisme pasar, meski untuk televisi ada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan di layar lebar ada LSF (Lembaga Sensor Film)," lanjutnya.
"Jika dikembalikan kepada produser dari tayangan tersebut, si produser pasti beralasan bahwa tayangan seperti itulah yang sedang laku di pasar."
Menurut dia, hanya artis-artis yang sudah memiliki posisi tawar yang dapat memilih sebuah tayangan yang bagus, sehingga para produser lebih senang menggunakan artis-artis yang lebih mudah sehingga bisa memenuhi tayangan yang menjadi kesenangan pasar.
Artis yang berperan sebagai Kirana di film Naga Bonar tersebut bahkan mencurigai bahwa gerakan tersebut ditujukan untuk menggiring masyarakat kepada sebuah tontonan yang seragam.
"Ini adalah salah satu cara globalisasi, apalagi Indonesia adalah negara berkembang, dan negara berkembang selalu dibiarkan untuk terus menjadi konsumen," ujarnya.
Sebelumnya, Nurul mengatakan bahwa dampak dari globalisasi adalah mengubah masyarakat yang semula multikultur menjadi masyarakat yang monokultur.
Nurul kemudian menegaskan bahwa perempuan, terutama ibu memiliki peran penting untuk menjadi fungsi kontrol atas tayangan-tayangan tersebut di dalam lingkungan terkecil, yaitu keluarga.
Atau jika perlu, lanjut dia, perempuan bisa meluapkannya dengan menulis di surat pembaca.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008