Yogyakarta, (ANTARA News) - Apa hubungannya "negative football" dengan sosok pegiat seni Nurul Arifin? Keduanya terangkum dalam satu definisi yakni hidup berkesenian yang mendekonstruksi kemapanan.Boleh saja laga "negative football" dicerca sebagai sangat menjemukan bagi publik yang mendambakan prouktivitas gol di era konsumtivisme. Seseorang ditakar dari apa yang dia konsumsi sebanyak-banyaknya.Padahal, negative football mengajarkan bahwa ada sisi yang harus terus diperjuangkan dengan kesungguhan. Tanpa pertahanan yang kokoh, tidak ada serangan untuk membongkar pertahanan lawan.Ini yang justru dicita-citakan oleh Nurul Arifin ketika bicara soal kaun perempuan di negeri sendiri. Kaum perempuan dulu sering menjadi kaum yang termarjinalkan kini mulai bangkit untuk mendobrak kungkungan patriarki."Banyak seniman yang sudah mendobrak kungkungan patriarki dengan orisinalitas karya-karya yang mereka hasilkan, mulai dari seni sastra, tari, film dan suara," kata Nurul Arifin di Yogyakarta, Sabtu. Sebelumnya selalu muncul anggapan bahwa perempuan sering dianggap kurang serius dalam menekuni bidang kesenian, namun pada kenyatannya tdaklah seperti itu. Artis yang kini juga menekuni profesi sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nasional tersebut mengatakan, beberapa karya dari seniman perempuan yang telah mendobrak keterbatasan tersebut ialah karya sastrawan NH Dini dan Dewi Lestari. NH Dini dengan karyanya "Pada Sebuah Kapal" yang ditulis pada 1973 menceritakan persoalan perempuan yang dikungkung budaya patriarki atau "Supernova" milik Dewi yang lebih dikenal dengan Dee. "Dee memiliki karya yang sangat bagus, saya yakin ia harus banyak membaca literatur untuk menghasilkan karya seperti itu," katanya. Di bidang tari, Nurul menyebutkan Retno Maruti atau Waljinah di bidang seni suara yang tetap memegang teguh pilihannya pada jalur tata busana dan musik. Karya-karya inovatif juga ditelurkan oleh beberapa sutradara perempuan seperti Nia Dinata dengan "Berbagi Suami" atau Nan T Achnas dengan Pasir Berbisik. "Jika tidak selalu dibentur-benturkan dalam perspektif patriarki, perempuan mampu menghasilkan karya seni yang bisa mengubah dunia, apalagi mereka pasti membawa pemikiran perempuan," katanyaa. Ia juga menyebutkan agar perempuan tidak selalu melihat segala sesuatu dengan cara pandang perempuan tetapi bisa memposisikan dirinya sebagai kelompok inklusif. "Memang ada saat-saat tertentu perempuan harus memposisikan dirinya dengan cara pandang perempuan," katanya. Sementara itu, Latifah Iskandar, salah satu anggota DPR RI menyatakan bahwa gerakan perempuan dan pemerintah kini memiliki misi yang sama. "Keduanya telah berkolaborasi, untuk itu yang harus dilakukan saat ini ialah mengawal proses dan produk yang ada, termasuk undang-undang untuk melindungi perempuan," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008