Dulu ini masih hutan lebat. Kami ini istilahnya yang pertama buka lahannya. Cuma pakai parang menebang pohon-pohon besar itu

Samarinda (ANTARA) - Puning (30) terlihat semringah. Tawanya lepas, tampak begitu bahagia saat diajak membahas soal tanah.

Ini memang topik obrolan warung kopi yang paling hangat di sekitar perbatasan Kecamatan Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur saat ini.

Tanpa harus ditanya lebih lanjut, perempuan asal Makassar ini lancar menceritakan bagaimana akhirnya dua hari lalu ia dan suaminya ikut-ikutan membeli sebidang tanah di Desa Semoi Empat, Kecamatan Sepaku.

“Di Semoi Empat itu na, biar ja masih hutan, diamkan ja. Sehektare dulu ditawarkan Rp17 juta bapaknya endak mau beli, buat apa, masih hutan. Kemarin kita beli itu Rp30 juta sudah,” kata Puning menceritakan kejadian beberapa hari sebelumnya saat ia dan suaminya membeli tanah di Desa Semoi Empat, Kecamatan Sepaku.

Baca juga: Menyusuri lokasi ibu kota baru
Baca juga: Ibu kota baru - Bupati Kukar sebut warga jangan sampai terpinggirkan

Pemilik warung kopi di ruas jalan Samboja-Sepaku yang tidak begitu jauh dengan Kawasan Konservasi Satwa di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang masuk di Kabupaten Kutai Kartanegara ini semakin lancar bercerita manakala Budiono (30) dan rekan-rekannya dari Desa Karang Jinawi, Kecamatan Sepaku tiba di sana.

“Habis sudah tanah-tanah bersertifikat tuh, sold out, cuma beberapa hari ja,” ujar Puning yang disambut gelak tawa Budiono dan rekan-rekannya.

Budiono lantas ikut menimpali perbincangan Puning dengan ANTARA yang memang membahas soal kehadiran “pemburu-pemburu” tanah di sekitar Desa Semoi Dua dan desa-desa lain di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, yang semakin ramai semenjak Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi calon ibu kota baru, Senin (26/8).

Mobil-mobil mewah hilir-mudik di perbatasan dua kabupaten itu, tujuannya tidak lain untuk menanyakan tanah yang hendak dijual.

Budiono yang merupakan anak dari transmigran gelombang terakhir asal Pacitan, Jawa Timur, yang mulai menempati desa di kecamatan paling jauh dari Ibu Kota Kabupaten Penajam Paser Utara itu pada 1993 juga berkelakar bahwa orang-orang desa di Sepaku banyak yang jadi orang kaya baru.

Armansyah (56), warga asli Sungai Merdeka yang sedang menjadi mandor proyek Jalan Sungai Merdeka-Samboja di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). (ANTARA/Virna P Setyorini)


“Tadi tu na di samping kecamatan, orang transaksi tunai, bergepok-gepok itu uangnya,” ujar Budiono. Meski tidak dapat mengkonfirmasi bahwa itu memang merupakan transaksi jual-beli tanah, namun ia menegaskan itu jelas bukan pemandangan jamak di Sepaku.

Fenomena jual-beli tanah ini diperkuat pernyataan Sekretaris Camat Sepaku Ahmad Bastian. Ahmad mengatakan hanya dalam beberapa hari sejak lokasi ibu kota baru diumumkan banyak sekali pihak perorangan maupun perusahaan mendatangi warga, menanyakan tanah yang hendak dijual.

Harga tanah melambung dengan cepat. Jika sebelumnya satu hektare lahan kosong dijual Rp17 juta hingga Rp25 juta, atau empat hektare seharga Rp70 juta, kini sudah ada yang berani membeli lahan bersertifikat dengan luas setengah hektare seharga Rp500 juta di sana.

Belum lama ada pula yang mencari tanah di Sepaku yang, menurut Ahmad, mengaku dari salah satu Grup Bisnis Manufaktur Unggas besar di Indonesia.

Sementara Armansyah (56), warga asli Sungai Merdeka di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara mengaku baru saja dimarahi keponakannya yang kebetulan bekerja di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ini karena dia baru saja menjual satu kavling tanah ukuran 15x20 meter persegi di pinggir Jalan Sungai Merdeka-Samboja seharga Rp150 juta.

“Jangan lagi dijual,” kata Arman mengikuti ucapan keponakannya.

Arman yang saat ditemui sedang menjadi mandor proyek jalan di dekat desanya mengaku masih memiliki sisa lahan seluas enam hektare di Sungai Merdeka. Tanah-tanah itu sebagian ditanami karet, kelapa sawit dan dijadikan kebun jagung.

Tanah-tanah warga di sana sekarang menjadi incaran para investor dan orang-orang kota dari Balikpapan, Samarinda, Bontang, Surabaya hingga Jakarta.

Lokasinya yang sangat dekat dengan salah satu Gerbang Tol (GT) Balikpapan-Samarinda kini bertambah strategis karena berada hanya sekitar 40 menit saja dari calon Ibu Kota Negara Republik Indonesia.


Baca juga: Ibu kota baru dirancang mandiri pangan, ada 10 kabupaten penyangga
Baca juga: Jaga hutan adat untuk keberkahan ibu kota baru

Dulu hutan belantara

Mayoritas penduduk di perbatasan Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara merupakan transmigran dan pendatang.

Haji Lasmuin, warga Desa Semoi Dua, Kecamatan Sepaku yang kini menjabat sebagai Kepala Puskesmas Semoi II mengaku dirinya merupakan anak dari transmigran gelombang pertama dari Bojonegoro, Jawa Timur, yang tiba di lokasi itu pada 1971.

“Dulu ini masih hutan lebat. Hutan primerlah kira-kira. Kami ini istilahnya yang pertama buka lahannya. Cuma pakai parang menebang pohon-pohon besar itu lama sekali,” ujar Lasmuin menceritakan kembali ingatan masa kecilnya sekitar 41 tahun lalu.

Para transmigran yang mendapat jatah tanah seluas dua hektare per kepala keluarga harus bekerja ekstra keras untuk membuka hutan agar bisa membangun rumah dan menggarap lahan, kata pria yang memperistri warga asli Paser itu.

Bukan hanya satwa liar, transmigran juga harus menghadapi penyakit malaria yang mewabah dengan sangat cepat di sana. Pernah di satu masa, menurut Lasmuin, populasi berkurang drastis setelah lebih dari 50 persen penduduk desanya meninggal karena terjangkit malaria.

Haji Lasmuin, warga Desa Semoi Dua, Kecamatan Sepaku yang juga menjabat sebagai Kepala Puskesmas Semoi II di Puskesmas Semoi II, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (28/8/2019). (ANTARA/Virna P Setyorini)


“Dari saya SD sampai saya kerja di Dinas Kesehatan Sepaku, malaria masih ada. Baru sekitar tahun 1990-an malaria mulai menghilang. Kalaupun ada yang terjangkit, biasanya mereka yang bekerja di hutan-hutan Kalimantan lainnya, bukan terjangkit di sini,” ujar dia.

Lain lagi cerita Haji Samiun Sapa (52), guru SD Negeri di Sepaku asal Way Riang, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ia merantau ke Sepaku setelah tamat SMA pada 1985 dan menjadi guru honorer di sana.

Samuin yang sudah 34 tahun menjadi warga Sepaku mengatakan kondisi desanya tentu sudah berubah dibanding saat pertama tiba di sana. Dulu saat pertama datang satu-satunya akses jalan di jalur yang menghubungkan dua kabupaten tersebut hanya berupa jalan tanah dan hanya bisa dilalui satu mobil saja.

Babi hutan, rusa dan kancil masih banyak sekali berkeliaran hingga ke rumah-rumah warga. Orangutan pun masih cukup banyak terlihat di hutan-hutan sekitar desa, kata guru yang telah diangkat menjadi guru tetap 27 tahun silam itu.

Setelah berpuluh-puluh tahun hidup sebagai warga Sepaku, Samuin mengaku kini mempunyai beberapa sertifikat untuk delapan hektare tanah yang tersebar di kecamatan yang dalam hitungan kurang dari 10 tahun akan menjadi ibu kota negara baru itu.

Ia belum sempat menggarap semua lahan karena harus membagi waktu dengan tugas utamanya sebagai seorang pengajar, jadi baru sebagian saja yang ditanami karet dan sawit.


Baca juga: Memahami pentingnya pemindahan ibu kota negara ke Kaltim

Reaksi Warga

Soal perasaannya setelah mendengar bahwa ibu kota negara akan pindah ke Kalimantan Timur, atau bahkan lebih dekat lagi, pindah ke Sepaku-Samboja ia menyatakan senang.

“Ya senang. Bukan kami yang mendatangi ibu kota, tetapi ibu kota yang mendatangi kami,” ujar Samuin.

Sementara warga lainnya, Syamsiah (60), warga RT 26 Sungai Merdeka, Samboja, Kutai Kartanegara, justru mengaku tidak tahu soal berita pemindahan ibu kota negara ke daerahnya.

Ia tampak terkejut dan beberapa kali justru bertanya balik untuk memastikan jawaban yang didengarnya tidak salah. Bahwa benar Samboja-Sepaku menjadi lokasi perpindahan ibu kota negara yang baru menggantikan Jakarta.

“Beritanya di TV atau di hape? Saya enggak pernah nonton berita. Saya juga enggak punya hape untuk baca berita. Anak-anak juga enggak ada yang kasih tahu,” tanya dia.

“Nanti orang Jakarta pindah sini, ya senang saja kan jadi ramai. Ambil saja singkong dari sini nak,” ujar Syamsiah, nenek satu cucu berpenghasilan Rp50 ribu per hari menawarkan singkong-singkongnya seandainya nanti jadi bertetangga.

Lain pula dengan Bagus Anggoro (40), pendatang dari Kediri, Jawa Timur, yang membuka warung sayur di rumahnya di RT 04 Sungai Merdeka, Samboja, Kutai Kartanegara. Dirinya justru mengkhawatirkan jika anak-anak tidak lagi mau ke langgar untuk mengaji jika fasilitas hiburan lengkap turut dibangun di calon ibu kota baru nanti.

Bagus bahkan menyampaikan rasa khawatirnya jika ibu kota yang penuh dengan gemerlap dan hingar-bingar berpindah ke sana, seperti Alexis yang sudah tutup di Jakarta itu.

Bagus Anggoro, warga RT 04 Sungai Merdeka saat berada di warung sayurnya di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). (ANTARA/Virna P Setyorini)


Sedangkan Abdurahim (50), orang Banjar yang sudah tujuh tahun terakhir membuka warung kecil di jalan lintas Sepaku-Samboja yang lokasinya tidak terlampau jauh dari KM 38 merasa senang akan “bertetangga” dengan Presiden Jokowi.

Ada harapan besar yang selama ini hanya dapat disimpannya rapat-rapat, yakni “merdeka” dari gelap. “Harapannya lampu bisa sampai, karena sekarang masih pakai genset,” ujar kakek dengan dua orang cucu ini.

Sementara mimpi lainnya dari mantan Kepala Desa Betung, Kecamatan Berangas, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan ini adalah berkunjung lagi ke istana kepresidenan. Karena sebagai kepala desa, pada 1992, Abdurahim mengaku sudah pernah diundang ke Istana Negara untuk bertemu Presiden Soeharto.

Sementara itu, Iqlima Putri Hanifah (11), Shifa Naizila Altaf (10) dan Dini Aulia (10) yang merupakan siswi SD Negeri 003 Sepaku tampak berhati-hati mengungkap perasaan mereka.

Shifa yang kini masih duduk di kelas 5 SD mengaku senang dan bangga jika nanti ibu kota negara republik ini benar-benar berpindah dan hanya akan berjarak “selemparan batu” dari tempat tinggalnya.

Sementara Putri menegaskan setuju jika ibu kota negara dipindah ke sana, asalkan pemerintah berjanji tidak akan menggusur mereka, warga asli yang sudah bertahun-tahun hidup di sana.

Putri juga meminta agar pemerintah memperbaharui dan melengkapi fasilitas sekolah mereka, selain juga memperbaiki jalan-jalan desa di Sepaku yang memang kondisinya saat ini rusak.

Saat ANTARA melontarkan pertanyaan terakhir kepada ketiganya, apakah mereka siap menjadi warga Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Semua serempak menjawab,”Siap!”


Baca juga: BNPB: Wilayah calon ibu kota baru rendah ancaman bencana

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019