Yogyakarta (ANTARA News) - Kedudukan sebagai `Parardhya` bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX yang bertahta secara sah dengan kewenangannya yang dapat mencerminkan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dikhawatirkan menimbulkan konflik internal di pemerintahan provinsi ini pascapemilihan gubernur nanti. "Pemerintahan DIY nanti akan berbeda dengan pemerintahan provinsi pada umumnya di Indonesia, karena di DIY akan ada Parardhya dan ada gubernur serta wakil gubernur yang dipilih melalui pilkada. Ini bisa menimbulkan konflik di internal pemerintahan provinsi DIY," kata pakar Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Warsito Utomo di Yogyakarta, Kamis. Ia mengatakan, kedudukan Sultan dan Paku Alam sebagai Parardhya seperti dijelaskan dalam draft Rancangan Undang-undang (RUU) Keistimewaan DIY memang dimaksudkan untuk memberi tempat terhormat bagi kedua tokoh itu, dan kewenangan penuh dalam berbagai urusan di pemerintahan provinsi ini. "Tujuannya memang baik yaitu memberi penghargaan kepada Sultan dan Paku Alam dengan mendudukannya sebagai Parardhya karena Yogyakarta sebagai daerah istimewa, tetapi ini rawan konflik karena kewenangannya masuk dalam urusan pemerintahan Provinsi DIY," katanya. Menurut dia, Parardhya akan memunculkan dualisme kepemimpinan di pemerintahan DIY. "Hal seperti itu yang semestinya dipikirkan dan dikaji lagi sebelum draft RUU Keistimewaan DIY disahkan menjadi undang-undang, sehingga bisa dihindari berbagai kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan," katanya. Warsito Utomo mengatakan, keinginan untuk menghargai dan memberi tempat terhormat serta istimewa kepada Sultan dan Paku Alam dalam konteks dan substansi keistimewaan DIY tidak harus dengan memberi kewenangan seperti itu yang justru bisa memicu konflik internal pemerintahan Provinsi DIY pada kemudian hari. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto usai membahas RUU Keistimewaan DIY dengan Komisi II DPR-RI di Jakarta, Rabu kepada wartawan mengatakan, salah satu materi penting yang dijelaskan dalam draft RUU Keistimewaan DIY adalah mengenai status Sultan dan Paku Alam. Sultan dan Paku Alam nantinya tidak otomatis menjabat gubernur dan wakil gubernur DIY sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Keistimewaan DIY. Kata Mendagri, setelah berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY periode 2003-2008, Sultan HB X dan Paku Alam IX akan didudukkan sebagai Parardhya yang bertahta secara sah dengan kewenangannya yang dapat mencerminkan Keistimewaan DIY. Kewenangan Sultan dan Paku Alam sebagai Parardhya antara lain menyetujui maupun menolak bakal calon gubernur dan wakil gubernur, baik yang diusung parpol maupun dari calon perseorangan meskipun KPU telah menyetujui bakal calon tersebut. Kemudian berwenang memberi arahan tentang kebijakan dan penetapan kelembagaan pemerintah Provinsi DIY, termasuk urusan pertanahan, penataan ruang, dan kebudayaan. Sultan dan Paku Alam juga berwenang menyetujui maupun menolak Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) yang telah disetujui gubernur bersama DPRD DIY. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008