Brisbane (ANTARA News) - Gonjang-ganjing masalah Ahmadiyah di Indonesia yang diikuti dengan serangkaian aksi kekerasan terhadap para Ahmadi (para pengikut Ahmadiyah-red.) telah menembus batas-batas negara. Berbagai pihak di Australia tidak ketinggalan ikut memberi perhatian pada isu ini, terlebih lagi setelah media setempat memberitakan perihal enam orang Ahmadi asal Nusa Tenggara Barat meminta suaka politik di kantor konsulat Australia di Bali. Perhatian kalangan Muslim dan akademisi Australia pada isu Ahmadiyah Indonesia itu setidaknya dirasakan oleh tiga tokoh muda Muslim Indonesia yang mengikuti program Pertukaran Pemimpin Muslim Australia-Indonesia (AIME) gelombang kedua 2008 awal Mei lalu. Ketiga peserta AIME dari Indonesia tersebut adalah Ayi Yunus Rusyana asal Bandung (Jawa Barat), Amika Wardana (Yogyakarta), dan Fridiyanto (Jambi). Selain pengalaman mereka, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Australia-Selandia Baru juga secara khusus memfasilitasi diskusi terbuka tentang Ahmadiyah bagi kalangan terdidik Indonesia dan Australia di Canberra, 23 Mei lalu. Persoalan Ahmadiyah menjadi perdebatan hangat di ranah publik setelah Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Kejaksaan Agung (Bakor Pakem Kejagung) merekomendasikan aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat pada 16 April lalu. Isu Ahmadiyah ini semakin menghangat setelah sekelompok anggota masyarakat di Desa Parakan Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 28 April lalu, merusak masjid para Ahmadi. Aliran yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad asal Pakistan itu dianggap bermasalah oleh kalangan arus utama umat Islam di dunia, karena mengajarkan teologi menyimpang dari ajaran pokok atau akidah Islam, khususnya tentang status kenabian sang pendiri. Dalam ajaran Islam yang dianut secara umum, Nabi Muhammad SAW adalah rasul terakhir dan tidak ada rasul lagi setelah beliau dalam Islam atau la nabiya ba'dah. Menurut Djati Ayi Yunus Rusyana, dosen IAIN Sunan Gunung yang menjadi peserta AIME gelombang kedua, ia bersama dua orang rekannya sempat mendiskusikan isu Ahmadiyah dengan Pakar Hukum Islam Universitas Melbourne, Prof. Tim Lindsey, dan pengurus Canberra Islamic Centre (Pusat Islam Canberra). "Kita berdiskusi tentang beberapa aliran dalam Islam, termasuk Ahmadiyah. Mengenai timbulnya konflik, kita sebutkan bahwa hal ini terkait dengan masalah aqidah yang berbeda dan adanya pertentangan antar komunitas secara sosial ...," kata Ayi. Hanya saja, dalam merespons perbedaan itu, belum terbangunnya dialog yang terbuka di masyarakat adalah fakta yang patut disayangkan. Bagi Ayi, aksi-aksi kekerasan terhadap para Ahmadi bisa dihindari kalau terbangun dialog yang baik. "Jika ada dialog, cara-cara kekerasan bisa dihindari. Dalam hal ini, para ulama penting memberikan pendidikan yang toleran dan terbuka serta menghargai perbedaan. Jadi kalaupun mau menjelaskan ada aliran lain yang berbeda, mestinya dijelaskan secara detil, sehingga tidak memancing reaksi negatif masyarakat," katanya. Bagaimana idealnya dialog tentang isu sensitif Ahmadiyah ini berlangsung di masyarakat? Keyakinan dan kemasyarakatan Bagi Amika Wardana, dosen Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta yang juga ikut dalam program AIME di Melbourne, Canberra, dan Sydney ini, dialog tentang Ahmadiyah sepatutnya tidak mencampuradukkan masalah keyakinan dengan kemasyarakatan. Namun yang berkembang di Indonesia selama ini adalah dialog yang ada cenderung mencampuradukkan kedua masalah ini, katanya. Terkait masalah pelarangan terhadap Ahmadiyah, ia melihat langkah yang akan diambil pemerintah itu merupakan "langkah yang kacau dan lucu" kalau alasan pelarangan tersebut adalah ajaran yang dinilai sesat. Dalam pandangan peneliti pada unit riset dan pengembangan Majelis Pendidikan Tinggi Pengurus Pusat Muhammadiyah ini, alasan pelarangan yang masuk akal adalah ketidaktertiban sosial (social unrest). Kalau alasan "social unrest" yang dipakai, sepatutnya masalah Ahmadiyah diselesaikan pada tataran hubungan antarmanusia, bukan pada tataran keyakinan, katanya. Terhadap usul sejumlah kalangan di Tanah Air agar para Ahmadi menyatakan diri sebagai pengikut agama baru di luar Islam, Amika Wardana melihat usul tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru. Sepatutnya, semua pihak melihat persoalan Ahmadiyah secara lebih jernih dalam konteks hubungan antarindividu dan komunitas, katanya. Semangat untuk mengkaji masalah Ahmadiyah secara lebih jernih itu pulalah yang mewarnai diskusi tentang Ahmadiyah yang diselenggarakan PCI-NU Australia-Selandia Baru di Canberra 23 Mei lalu. Bagi para peserta diskusi, mendorong Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam bukanlah solusi, melainkan "lelucon besar dalam sejarah bangsa Indonesia". Anggapan bahwa usul tersebut tak lebih dari sebuah lelucon disebut Ketua Panitia Diskusi PCI NU, Moh. Yasir Alimi, sebagai benang merah diskusi publik bertema "Our Mosque is Burned Down": Constitution, Faith and One Hundred Years National Awakening" (Masjid Kami Dibakar: Konstitusi, Kepercayaan dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional" itu. Dalam diskusi yang berlangsung di kampus Universitas Nasional Australia (ANU) sebagai puncak rangkaian peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional itu, tidak dapat dihindari munculnya perbedaan pandangan di antara para peserta Muslim. "Meski ada perbedaan pendapat di banyak tempat, para aktivis Islam yang hadir sepakat bahwa dalam penanganan kasus Ahmadiyah, pendidikan dan dialog diperlukan," kata Yasir yang juga ketua panitia peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional PCI-NU ini. Dialog interaktif yang berlangsung di ruang "Extension Building" ANU itu tidak hanya menghadirkan para pembicara utama dari kalangan Ahlussunnah wal jamaah, tetapi juga kalangan Ahmadiyah. Di antara pembicara utama adalah Kiai Syarif Usman Yahya (ulama senior dari Cirebon, Jawa Barat), Dr.Nadirsyah Hossen (dosen hukum Universitas Wollongong yang juga Syuriah PCI NU Australia-Selandia Baru), serta Bagus, Musa dan Helen Musa (Ahmadi). Dalam pandangan Dr. Nadirsyah Hosen, patokan yang harus digunakan berbagai pihak dalam menghadapi kasus Ahmadiyah di Tanah Air adalah konstitusi (UUD 1945), bukan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena fatwa MUI tidak mengikat bangsa Indonesia. "Baginya, membela konstitusi sama halnya dengan membela ajaran ahlu sunnah wal jamaah," kata Yasir. Dr. Nadirsyah mengusulkan agar kelompok-kelompok yang menuntut pelarangan Ahmadiyah, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir, tidak memperlakukan Ahmadiyah sebagaimana Orde Baru memperlakukan mereka. "Jangan sekali-kali membuka pintu bagi pemerintah untuk mengulang sejarah lagi. Yang terjadi pada Ahmadiyah bisa terjadi pada mereka. Kedua, soal penjagaan akidah ahlu sunnah wal jamaah, hendaknya hal ini dilakukan dengan pendidikan, bukan kekerasan," katanya. Bagi NU, Muhammadiah dan Ahmadiyah, ketiganya justru bisa membangun kerja sama dalam kerja-kerja sosial kemasyarakatan, seperti memberantas kemiskinan dan memberi pelayanan kesehatan dan pengobatan massal. Di sesi penutupan acara diskusi PCI NU tentang Ahmadiyah ini, Indonesianis ANU, Prof. Anthony Jones, menyampaikan orasi ilmiahnya tentang masa depan konstitusi, agama dan toleransi di Indonesia setelah 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Dalam orasinya itu, Jones mengingatkan semua peserta yang hadir bahwa Islam sejatinya adalah "agama perdamaian". Bahkan salah satu asma Allah adalah as-Salam. Oleh karena itu, perdamaian dan ilham itu harus dikejar dan dipeluk, kata Yasir. (*)

Pewarta: Oleh Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2008