Selama 2019, total entitas investasi ilegal yang telah dihentikan 177 entitas
Jakarta (ANTARA) - Keberadaan dan praktik perusahaan layanan keuangan digital atau financial technology (fintech) peer-to-peer ilegal yang merugikan konsumen perlu diberantas dan terus disosialisasikan kepada masyarakat guna mendorong tingkat inklusi keuangan Indonesia sesuai target tahun ini, yaitu 75 persen.
"OJK berperan dalam penanganan praktik fintech peer-to-peer (P2P) lending ilegal melalui Satgas Waspada Investasi," kata Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sondang Martha Samosir pada diskusi “Literasi Keuangan Fintech" yang diselenggarakan Finmas di Jakarta, Jumat.
Sondang mengatakan berdasarkan data OJK terdapat fintech P2P lending yang tidak terdaftar atau memiliki izin usaha telah ditangani oleh satgas waspada investasi. Sebanyak 404 entitas pada 2018 dan 826 entitas pada 2019.
"Selama 2019, total entitas investasi ilegal yang telah dihentikan 177 entitas," ujar Sondang dalam diskusi yang dipandu Kepala Public Relation dan Corcom Finmas, Rainer Emanuel.
Demi mencegah praktik fintech P2P ilegal, menurut Sondang, OJK menempuh dua cara, yaitu preventif dan represif. Upaya preventif adalah edukasi menggunakan media luar ruang digital, media sosial dan sosialisasi. Sedangkan cara represif adalah menindak tegas pelaku investasi investasi legal dan fintech ilegal untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Sondang mengatakan pemantauan entitas fintech itu untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Apalagi keberadaan fintech sangat menyokong tingkat inklusi keuangan Indonesia. Namun, hal itu dinilai tidak akan berpadu dengan kenaikan tingkat literasi keuangan masyarakat.
Ia menyatakan dalam menyediakan layanan jasa keuangan, fintech menggunakan teknologi digital. Karena itu, masyarakat semakin mudah memperoleh layanan jasa keuangan di mana pun dan kapan pun.
"Fintech itu industri yang sedang berkembang dan membuat perubahan terhadap sektor jasa keuangan, dari yang sebelumnya tatap muka jadi melalui perangkat elektronik, dalam hitungan detik," katanya.
OJK belum memiliki data pasti terkait besaran peranan fintech terhadap peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Pasalnya, survei nasional literasi keuangan OJK yang dilakukan setiap tiga tahun sekali, baru dimulai tahun ini, setelah terakhir dilakukan pada 2016.
"Ini sekarang kita sedang survei, di Oktober mungkin nanti bisa dilihat bahwa ini fintech benar-benar bisa mendorong tingkat inklusi keuangan. Angkanya belum, karena lagi di survei, tapi saya yakin akan besar (peranan fintech)," tutur dia.
Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan pada 2016, tingkat inklusi keuangan Indonesia terbilang kecil, yakni hanya 67,8 persen dengan tingkat literasi keuangan hanya 29,7 persen. Artinya, kata dia, meski lebih dari separuh penduduk Indonesia telah tersentuh layanan jasa keuangan, namun 29,7 persennya tidak memahami layanan jasa keuangan.
Kendati saat ini banyak masyarakat merasakan layanan jasa keuangan dengan adanya keberadaan fintech, menurut
Sondang, masih banyak persoalan yang justru menyebabkan mereka mengalami kerugian dan tidak sejahtera. Terutama akibat keberadaan fintech ilegal.
"Kami berharap masyarakat pintar, apalagi yang berhubungan dengan industri keuangan, kalau gitu nanti rentenir yang jalan, itu di luar cakupan kita. Makanya fintech diimbau tingkatkan literasi dan wajib sampaikan informasi lengkap, terkini, akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan," tegas dia.
Sementara itu Komisioner pada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Bambang Sumantri menilai OJK dan pemerintah perlu memperketat pergerakan perusahaan fintech ilegal. Produk dan layanan fintech mengenai risiko dan keamanan data serta beberapa hal lainnya banyak yang tidak dipenuhi oleh fintech ilegal.
Dia menilai tantangan fintech saat ini ada tiga. Pertama tantangan persaingan baik antara sesama pelaku fintech maupun dengan lembaga keuangan tradisional, serta tantangan untuk mengimplementasikan prinsip perlindungan konsumen.
Kedua, menurut Bambang, terdapat tantangan untuk lebih kritis dan bijak sebelum menggunakan produk atau layanan fintech yang sesuai kebutuhan dan kemampuan dengan merujuk pada whitelist dan blacklist yang disediakan oleh OJK.
Ketiga, dari regulator. Menurut Bambang, terdapat tantangan untuk mewujudkan kesimbangan antara perkembangan sistem keuangan nasional perkembangan Fintech, dan implementasi aspek perlindungan konsumen.
Baca juga: Satgas Waspada Investasi tindak tegas pelaku fintech ilegal
Baca juga: OJK ingatkan layanan pinjaman daring ilegal bisa dijerat sanksi pidana
Baca juga: Fintech ilegal masih berkeliaran, OJK minta masyarakat hati-hati
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019